Puncak tertinggi gunung Evererst tersebut mencapai 8.848 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Puncak gunung tertinggi tersebut selalu diselimuti oleh salju dan memiliki suhu yang tinggi.
Meski begitu, banyak orang yang ingin mendaki ke puncak tertinggi di dunia tersebut.
Dilansir oleh Kompas.com pada Senin (7/10/2019), sebelum mencapai puncak tertinggi dunia, para pendaki harus menaiki tanjakan terakhir yang berada di ketinggian lebih dari 8.000 mdpl.
Area terakhir sebelum ke puncak Everest ini dikenal dengan sebutan the death zone atau zona kematian.
'Zona kematian' ternyata bukanlah sekadar nama pemberian biasa.
Hal tersebut lantaran di daerah itu memang memiliki kadar oksigen yang minim.
Baca: Ingin Mendaki Gunung Lawu? Ini Tiga Jalur Resmi Pendakian Gunung Lawu
Maka jika berada di kawasan tersebut, orang akan berisiko tinggi kehabisan napas.
Lebih parahnya orang tersebut bisa meninggal jika terlalu lama di sana.
Dan pada Mei 2019, antusiasme pendaki menjadikan risiko itu bertambah buruk.
Dan antrean pendaki pun menjadi mengular di kawasan dead zone.
Hingga akhirnya tercatat, sebanyak 11 pendaki Gunung Everest yang meninggal dunia karena kehabisan napas di sana.
Laporan BBC pada Oktober 2015 menyebutkan, setidaknya lebih dari 200 jenazah manusia telah ditemukan di dekat puncak Everest.
Namun, kenapa terjebak antrean di Everest bisa menyebabkan kematian?
Dilansir oleh Science Alert, tubuh manusia tidak bisa 'berfungsi' dengan baik jika berada di ketinggian tertentu.
Tempat paling ideal bagi manusia adalah di atas permukaan laut karena otak dan paru-paru kita cukup mendapat oksigen.
Sebaliknya, ketika pendaki terjebak di jalur zona kematian yang ada ribuan meter di atas permukaan air laut, otak dan paru-paru tidak mendapatkan cukup asupan oksigen.
Situasi seperti ini bisa mengakibatkan risiko serangan jantung dan stroke, serta menurunkan konsentrasi.
Seorang pendaki bernama David Breashers membenarkan hal ini.