Setelah menjalani hukuman empat bulan penjara, dia kembali terjun ke dunia politik. Namun pada 1998, partai politiknya dilarang oleh pemerintah karena melanggar prinsip-prinsip sekuler yang ketat dari negara Turkiye modern.
Pada Agustus 2001, dia mendirikan partai berakar Islam baru bersama sekutunya, Abdullah Gul, yang diberi nama Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP).
Popularitas Erdogan meningkat, terutama di kalangan dua kelompok: pertama, oleh kelompok religius mayoritas Turkiye yang merasa terpinggirkan oleh elite sekuler di negara itu. Kedua, oleh mereka yang menderita akibat krisis ekonomi pada akhir 1990-an.
Pada tahun 2002, AKP memenangkan pemilihan parlemen. Pada tahun berikutnya, Erdogan diangkat sebagai perdana menteri.
Dia bertahan sebagai ketua partai hingga saat ini.
Tiga periode sebagai perdana menteri
Sejak tahun 2003, dia menjadi perdana menteri selama tiga periode, pada era pertumbuhan ekonomi yang stabil sehingga dia mendapat pujian internasional sebagai seorang reformis.
Kelompok kelas menengah di Turkiye berkembang, dan jutaan orang keluar dari kemiskinan karena Erdoga memprioritaskan proyek-proyek infrastruktur raksasa untuk memodernisasi Turkiye.
Erdogan berhasil meyakinkan pemilih dari kelompok minoritas Kurdi di Turkiye selama tahun-tahun awal dia berkuasa.
Hak-hak orang Kurdi dipulihkan dan setelah tiga dekade berkonflik, proses perdamaian baru diluncurkan pada Maret 2013 yang membuat kelompok militan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) mengumumkan gencatan senjata.
Namun kesekapatan itu hanya bertahan dua tahun, sebelum siklus kekerasan yang berkepanjangan itu kembali terjadi.
Pada 2013, para kritikus mulai memperingatkan bahwa Erdogan menjadi semakin otokratis.
Pada musim panas 2013, pengunjuk rasa turun ke jalan, sebagian dipicu rencana pemerintahan Erdogan mengubah taman yang sangat disukai orang-orang di pusat Kota Istanbul, juga untuk menantang pemerintahannya yang semakin otoriter.
Erdogan memerintahkan penggusuran paksa pengunjuk rasa dari Taman Gezi dan penggunaan kekuatan polisi yang berlebihan memicu demonstrasi massa yang belum pernah terjadi sebelumnya. Itu menandai titik balik dalam pemerintahannya.
Di mata para pengkritiknya, Erdogan bertindak lebih seperti seorang sultan dari Kesultanan Ustmaniyah dibandingkan seorang demokrat.
Kebangkitan umat Muslim
Partai yang dipimpin Erdogan juga mencabut larangan perempuan mengenakan jilbab di kampus-kampus dan tempat pelayanan publik yang berlaku setelah kudeta militer pada tahun 1990.
Larangan tersebut juga akhirnya dicabut untuk para perempuan di institusi kepolisian, militer, dan peradilan.
Kritikus mengeluhkan bahwa Erdogan telah merusak pilar-pilar republik sekuler yang dibangun Mustafa Kemal Ataturk.
Meski religius, Erdogan selalu membantah bahwa dia ingin memaksakan nilai-nilai Islam, dan bersikeras dia hanya mendukung hak-hak orang Turkiye untuk mengekspresikan keyakinan mereka secara lebih terbuka.