Kemudian Ki Hadjar Dewantara melanjutkan pendidikan di STOVIA.
STOVIA merupakan sekolah untuk pendidikan dokter pribumi di kota Batavia.
STOVIA didirikan pada masa kolonial Belanda yang sekarang berubah namanya menjadi Fakultas Kedokter Universitas Indonesia.
Ki Hadjar Dewantara tidak menyelesaikan pendidikannya karena Ki Hajar Dewantara sakit.
Baca: Hari Pahlawan 10 November 2021, Komponis Besar Ismail Marzuki Tampil Jadi Google Doodle
Baca: Pimpin Pemakaman Serda Rizal Korban KKB Papua, Jenderal Dudung: Dia Gugur Sebagai Pahlawan
Pada 1913, pemerintah Kolonial Belanda mengadakan perayaan kebebasan Belanda dari penjajah Perancis.
Namun kolonial Belanda meminta iuran dari rakyat.
Kemudian Ki Hadjar Dewantara membuat tulisan yang berisi kritik.
Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga).
Tulisannya tersebut di muat oleh surat kabar De Expres.
Kutipan tulisannya :
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.
Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya.
Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu!
Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya".
Setelah membaca tulisan dari Ki Hadjar Dewantara, pemerintah Belanda menjadi marah.
Pemerintah Belanda takut dengan membaca tulisan Ki Hadjar Dewantara akan membuat rakyat berpikir dan menjadi memusuhi pemerintah Belanda.
Ki Hadjar Dewantara akhirnya ditangkap oleh pemerintah Belanda dan diasingkan di Pulau Bangka.
Cipto Mangoenkoesoemo dan Douwes Dekker tidak terima akan penangkapan dari pemerintah Belanda .
Belanda lalu menangkap keduanya dan diberikan hukuman yang sama yakni pengasingan dan ditempatkan terpisah.
Tiga Serangkai (Cipto Mangoenkoesoemo, Douwes Dekker, Ki Hadjar Dewantara) tersebut merasa keberatan dan memilih untuk diasingkan di Belanda.