TRIBUNNEWSWIKI.COM - Nama Anwar Usman saat ini ramai menjadi perbincangan.
Hal ini lnataran dirinya masuk sebagai kandidat ketua Mahkamah Konstitusi atau MK.
Lantas siapa Anwar Usman sebenarnya ?
Berikut Tribunnewswiki rangkum informasi terkait sosok Anwar Usman yang perlu kamu ketahui:
Prof. Dr. H. Anwar Usman, S.H., M.H. adalah seorang hakim konstitusi yang menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi ke-6.
Ia lahir pada 31 Desember 1956.
Baca: Hakim Kanada: Acungkan Jari Tengah Itu Hak yang Diberikan Tuhan, Bukan Kejahatan
Baca: Tak Terima Vonis Hakim Terkait Kasus Pembunuhan Berencana, Sambo hingga Kuat Maruf Ajukan Banding
Publik menyoroti Anwar Usman ketika menikahi adik Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tahun 2022 lalu.
Sebagian kalangan mempertanyakan independensi Anwar sebagai ketua MK dan sebagai hakim karena statusnya sebagai adik ipar Presiden Jokowi, seperti dikutip dari Kompas.
Sebelumnya, Anwar Usman sempat menjabat sebagai Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi ke-5.
Anwar Usman memulai karier sebagai seorang guru honorer pada 1975.
Sukses meraih gelar Sarjana Hukum pada 1984, Anwar mencoba ikut tes menjadi calon hakim.
Keberuntungan pun berpihak padanya ketika ia lulus dan diangkat menjadi Calon Hakim Pengadilan Negeri Bogor pada 1985.
Di Mahkamah Agung (MA), jabatan yang pernah didudukinya, di antaranya menjadi Asisten Hakim Agung mulai dari 1997–2003 yang kemudian berlanjut dengan pengangkatannya menjadi Kepala Biro Kepegawaian Mahkamah Agung selama 2003–2006.
Lalu pada 2005, dirinya diangkat menjadi Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta dengan tetap dipekerjakan sebagai Kepala Biro Kepegawaian.
Dikutip dari mkri.id, Mengawali karier sebagai seorang guru honorer pada 1975, tidak membatasi langkah Anwar Usman menjadi seorang Hakim Konstitusi seperti sekarang.
Keterpilihannya sebagai pengganti M. Arsyad Sanusi, dipandang oleh pria kelahiran 31 Desember 1956 merupakan jalan takdir yang dipilihkan Allah SWT untuknya.
“Saya sama sekali tak pernah membayangkan untuk mengucapkan sumpah jabatan di hadapan Presiden. Saya juga tak pernah membayangkan bisa terpilih menjadi salah satu hakim konstitusi,” jelas dia.
Ia merupakan suami dari Hj. Suhada yang merupakan seorang bidan yang kini mengurus RS Wijaya Kusuma, Lumajang, dan RS Budhi Jaya Utama, Depok ini.
Anwar yang dibesarkan di Desa Rasabou, Kecamatan Bolo, Bima, Nusa Tenggara Barat, mengaku dirinya terbiasa hidup dalam kemandirian.
Lulus dari SDN 03 Sila, Bima pada 1969, Anwar harus meninggalkan desa dan orang tuanya untuk melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) selama 6 tahun hingga 1975.
Baca: Sosok Edy Wibowo, Hakim Yustisial Mahkamah Agung yang Diduga Terima Suap hingga Rp 3,7 Miliar
Baca: Kecewa Uang Tak Kembali dan Disebut Berjudi, Korban Binomo Indra Kenz : Hakim Enggak Punya Akhlak
“Selama sekitar enam tahun hidup terpisah dari orangtua, saya banyak belajar tentang disiplin dan kemandirian, karena memang sebagian hidup saya habiskan di perantauan,” jelas putra asli Bima, Nusa Tenggara Barat ini.
Lulus dari PGAN pada 1975, atas restu Ayahanda (Alm.) Usman A. Rahim beserta Ibunda Hj. St. Ramlah, Anwar merantau lebih jauh lagi ke Jakarta dan langsung menjadi guru honorer pada SD Kalibaru.
Selama menjadi guru, Anwar pun melanjutkan pendidikannya ke jenjang S1.
Ia pun memilih Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta dan lulus pada 1984.
“Teman-teman saya sesama PGAN kala itu banyak memilih untuk melanjutkan pendidikan ke IAIN, mengambil fakultas tarbiyah, fakultas syariah atau fakultas lainnya. Adapula yang melanjutkan pendidikan ke Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP). Jarang yang memilih fakultas hukum. Akan tetapi, saya tidak melepaskan diri dari dunia pendidikan yang menjadi basic saya. Terbukti SD Kalibaru tempat pertama kali saya mengadu nasib di Jakarta pada 1975 telah berkembang menjadi sebuah yayasan pendidikan dengan berbagai jenis dan tingkatan pendidikan. Saya pun terpilih dan diangkat menjadi Ketua Yayasan sampai saat ini,” ujar pria yang gemar menyanyikan lagu-lagu Broeri Marantika itu.
Selama menjadi mahasiswa, Anwar aktif dalam kegiatan teater di bawah asuhan Ismail Soebarjo. Selain sibuk dalam kegiatan perkuliahan dan mengajar, Anwar tercatat sebagai anggota Sanggar Aksara.
Dirinya pun sempat diajak untuk beradu akting dalam sebuah film yang dibintangi oleh Nungki Kusumastuti, Frans Tumbuan dan Rini S. Bono besutan sutradara ternama Ismail Soebarjo pada 1980.
“Saya hanya mendapat peran kecil, namun menjadi suatu kebanggaan bisa menjadi anak buah sutradara sehebat Bapak Ismail Soebarjo, apalagi film yang berjudul “Perempuan dalam Pasungan” menjadi Film Terbaik dan mendapat Piala Citra,” kenang pria yang meraih gelar Doktor pada Universitas Gadjah Mada.
Akan tetapi, keterlibatan Anwar dalam film yang meledak pada 1980 tersebut, menuai kritik dari orangtuanya.
“Ketika film itu meledak, sampailah film itu ke Bima. Kebetulan di film itu ada adegan saya jalan berdua seorang wanita di Pasar Cikini, orang-orang di kampung saya, heboh semua. Padahal di film itu saya hanya sebagai penggembira saja. Ketika Bapak saya tahu, saya dimarahi. Kata beliau, ‘Katanya ke Jakarta untuk kuliah, ini malah main film’,” kenangnya sambil tersenyum.
Anwar mengenang keterlibatannya dalam dunia teater sebagai salah satu pengalaman dia yang paling berkesan.
Menurut pria yang ramah ini, dunia teater mengajarkannya banyak hal termasuk tentang filosofi kehidupan.
Dunia teater dan film, menurut mantan Hakim Yustisial Mahkamah Agung ini, pada intinya mengandung unsur edukasi yang mengajak pada kebajikan, termasuk bagaimana bersikap dan bertutur kata.
“Mengucapkan sumpah seorang diri di hadapan Presiden SBY, banyak teman yang khawatir. Tapi, Alhamdulillah, berkat pengalaman saya di bidang teater, saya bisa mengatasi kegugupan dan tidak demam panggung ketika harus mengucapkan lafal sumpah,” urai mantan Kepala Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung periode 2006 – 2011 ini.
Sukses meraih gelar Sarjana Hukum pada 1984, Anwar mencoba ikut tes menjadi calon hakim. Keberuntungan pun berpihak padanya ketika ia lulus dan diangkat menjadi Calon Hakim Pengadilan negeri Bogor pada 1985.
“Menjadi hakim, sebenarnya bukanlah cita-cita saya. Namun, ketika Allah menginginkan, di manapun saya dipercaya atau diamanahkan dalam suatu jabatan apapun, bagi saya itu menjadi lahan untuk beribadah. Insya Allah saya akan memegang dan melaksanakan amanah itu dengan sebaik-baiknya,” urai pria berjenggot lebat yang pernah bertugas di Pengadilan Negeri Atambua dan Pengadilan Negeri Lumajang tersebut.
(TRIBUNNEWSWIKI.COM/Kaa)