TRIBUNNEWSWIKI.COM - Sumpah Vladimir Putin tentang kemenangan Rusia kembali diucapkan.
Presiden Putin besumpah kemenangan akan menjadi milik "kita" seperti pada 1945.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh presiden kelahiran Leningrad tersebut.
Moskwa secara resmi memperingati kemenangan atas Nazi Jerman dengan parade militer raksasa, Senin (9/5/2022).
Hal tersebut disampaikan saat mengucapkan selamat kepada negara-negara bekas uni Soviet pada peringatan 77 tahun kekalahan Nazi Jerman dalam Perang Dunia II.
Dalam pemerintahan Presiden Putin, Rusia membenarkan serangannya di Ukraina, yang diluncurkan pada 24 Februari lalu, sebagai "operasi khusus" untuk "demiliterisasi" dan "de-nazifikasi" tetangganya itu.
Baca: Pimpin Parade Militer 9 Mei, Putin Bakal Berikan Peringatan Kiamat kepada Barat
Baca: Kasus Menlu Rusia Sebut Hitler Punya Darah Yahudi, Putin Minta Maaf kepada Israel
Yang tak lain adalah bekas republik Soviet yang mendeklarasikan kemerdekaan pada 1991.
"Hari ini, tentara kita, seperti nenek moyang mereka, berjuang berdampingan untuk membebaskan tanah air mereka dari kotoran Nazi dengan keyakinan bahwa, seperti pada 1945, kemenangan akan menjadi milik kita," ungkap Putin.
"Hari ini, adalah tugas kita bersama untuk mencegah kelahiran kembali Nazisme yang menyebabkan begitu banyak penderitaan bagi orang-orang di berbagai negara," imbuhnya Presiden Rusia itu.
Bahkan Vladimir Putin juga berharap generasi baru mungkin layak untuk dikenang oleh ayah dan kakek mereka.
Tak ketinggalan, Vladimir Putin juga berharap semua penduduk Ukraina mempunyai masa depan yang damai dan adil.
Kemudian, dia banyak referensi untuk tentara dan juga warga sipil di garis depan rumah yang menghancurkan Nazisme dengan pengorbanan yang tak terhitung jumlahnya.
"Sayangnya, hari ini, Nazisme bangkit sekali lagi," tuduh Putin yang bersikeras bahwa Ukraina berada dalam cengkeraman fasisme dan ancaman bagi Rusia dan minoritas berbahasa Rusia di timur Ukraina yang diklaim Moskwa sebagai "pembebasan."
"Tugas suci kami adalah menahan penerus ideologis dari mereka yang dikalahkan dalam Perang Dunia II -yang oleh Moskwa disebut sebagai perang patriotik yang hebat," papar Putin, seperti dilansir dari Kompas.
Sementara itu sebelumnya juga sudah diberitakan tentang beredarnya video simulasi serangan nuklir Moskwa yang hancurkan Inggris di internet.
Video simulasi ini disiarkan oleh stasiun televisi milik Pemerintah Rusia dalam program News of the Week yang disiarkan Rossiya-1.
Video simulasi dalam berita yang ditayangkan tersebut memperlihatkan peta di mana Irlandia dan Inggris lenyap tiada berbekas.
Pembawa acara dalam tayangan tersebut adalah Dmitry Kiselyov.
Kiselyov memaparkan dua simulasi serangan sekaligus.
Baca: AS Mengaku Lega karena Tiongkok Tak Jadi Kirim Bantuan Militer untuk Rusia
Baca: Putin akan Akhiri Perang dengan Ukraina pada 9 Mei, Paus Fransiskus Duga NATO Provokasi Invasi Rusia
Yakni, serangan rudal Sarmat dan serangan nuklir dengan kendaraan nirawak bawah laut.
Pembawa acara ini mengatakan, jika serangan nuklir tersebut benar-benar diluncurkan, Irlandia dan Inggris akan hancur dan tenggelam.
Kiselyov, dalam The Stars and Stripes, Selasa (3/5/2022), menuding Perdana Menteri Inggris Boris Johnson telah mengancam Rusia dengan serangan nuklir selama perang di Ukraina.
Hanya dengan serangan rudal Sarmat satu saja, sudah cukup untuk menenggelamkan dan meratakan satu kepulauan di Inggris dan Irlandia.
“Hanya dengan sekali peluncuran, Boris, Inggris tidak akan ada lagi,” kata Kiselyov, dikutip dari The Telegraph.
“Opsi lain adalah menenggelamkan Inggris ke dalam laut menggunakan kendaraan nirawak bawah laut Rusia, Poseidon,” lanjut dia.
Di lain sisi, Boris Johnson justru melanjutkan dukungannya untuk Ukraina pada hari-hari sejak video simulasi serangan nuklir itu ditayangkan di negara yang dipimpin oleh Putin tersebut.
Dalam sebuah tautan video, Johnson menyampaikan dengan nada optimis pada upaya perang kepada parlemen Ukraina, pada Selasa lalu.
Video viral yang memperlihatkan serangan nuklir yang ditujukan ke Inggris dan Irlandia tersebut mendapatkan sambutan kecut di Irlandia.
Satu di antaranya adalah Perdana Menteri Irlandia Michael Martin.
Martin menggambarkan kepada penyiar nasional Irlandia RTE, simulasi serangan nuklir Rusia sebagai taktik tipe intimidasi yang sangat jahat.
Perdana Menteri Irlandia ini juga menyerukan agar Rusia meminta maaf.
“Ini mencerminkan pola pikir yang mengkhawatirkan dan tidak berhubungan dengan kenyataan,” ungkap Martin.
Media Rusia: Putin Lebih Suka Perang Nuklir daripada Terima Kekalahan di Ukraina
Seorang editor senior TV pemerintah Rusia, Russian Today (RT), mengatakan Presiden Rusia Vladimir Putin lebih suka melakukan perang nuklir daripada menerima kekalahan di Ukraina.
Margarita Simonyan, nama editor itu, menyampaikannya melalui TV Rabu malam, (27/4/2022), lalu.
Menurutnya, Putin kemungkinan besar akan lebih memilih mengerahkan senjata nuklir daripada mengaku kalah.
Sebelumnya, Rusia sempat memperingatkan Barat tentang konsekuasi yang muncul apabila ikut campur dalam urusannya di Ukraina.
"Kita kalah di Ukraina atau Perang Dunia Ketiga dimulai. Saya pikir Perang Dunia Ketiga lebih realistis, mengingat [sifat] pemimpin kami," kata Simonyan dikutip dari The Independent.
"Bagi saya, bahwa semua ini akan berakhir dengan serangan nuklir tampak lebih mungkin daripada peristiwa lainnya."
"Di satu sisi, ini menjadi ketakutan saya. Namun, di sisi lain itulah kenyataan."
Baca: Jokowi Minta Vladimir Putin Segera Hentikan Perang atas Ukraina, Siap Kontribusi Perdamaian
Baca: Mulai Muak, Putin Beri Ancaman Serangan Secepat Kilat Jika NATO Berani Campur Tangan di Ukraina
Ucapan Simonyan terkait dengan komentar Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov baru-baru ini.
Lavrov mengatakan ancaman perang nuklir tidak boleh diremehkan.
"Ini posisi penting kita yang menjadi dasar segalanya bagi kita. Risikonya sekarang besar," kata Lavrov melalui TV.
"Saya tidak ingin meningkatkan risiko ini dengan intevensi. Banyak yang akan menyukainya. Bahaya ini serius, nyata. Dan kita tidak boleh meremehkannya.
Ancaman nyata
Sergey Lavrov mengatakan ancaman perang nuklir itu nyata dan tak bisa diremehkan.
Kendati demikian, Lavrov menyebut Rusia berusaha menurunkan risiko meletusnya perang nuklir.
"Itu [perang nuklir] nyata dan tidak bisa diremehkan," kata Lavrov dalam sebuah wawancara yang ditayangkan di televisi, (25/4/2022), dikutip dari CNN Internasional.
Dia kemudian mengingatkan adanya deklarasi bersama antara Presiden AS Ronald Reagan dan pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev.
Kedua pemimpin itu sepakat bahwa perang nuklir tidak boleh terjadi dan tidak boleh diupayakan terjadi.
Menurut Lavrov, penolakan akan adanya perang nuklir tetap menjadi salah satu prinsip yang dipegang Rusia.
Dia menyebut negara-negara Barat bisa disalahkan atas adanya krisis politik dan kekhawatiran yang terjadi saat ini.
Selain itu, kata dia, Barat tidak bersedia percaya kepada Rusia.
Lavrov menyoroti kegagalan terbentuknya perjanjian baru yang akan melanjutkan perjanjian tahun 1980-an antara AS dan Uni Soviet.
Dalam perjanjian tersebut, kedua belah pihak sepakat untuk melarang adanya senjata nuklir dengan daya jangkau menengah.
Sayangnya, perjanjian itu sudah berakhir tahun 2019. Menurut Lavrov, AS juga tidak menerima tawaran dari Rusia untuk terus melarang pengerahan senjata nuklir.
"Tawaran kami tentang moratorium bersama telah ditolak, meski kami memasukkanya ke dalam metode verifikasi proposal kami."
(TRIBUNNEWSWIKI.COM/Febri/Ka)
Baca berita terkait Rusia-Ukraina di sini