Kontroversi Vaksin Nusantara: Kejanggalan hingga Relawan Alami Kejadian Tak Diinginkan (KTD)

BPOM menemukan sejumlah kejanggalan dalam penelitian dan pengembangan vaksin Nusantara.


zoom-inlihat foto
Terawan-Agus-2.jpg
Kompas
Foto: Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, Selasa, (11/2/2020). Terawan menjadi orang di balik vaksin Nusantara.


TRIBUNNEWSWIKI.COM - Vaksin Nusantara besutan mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto memicu kontroversi.

Pasalnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan sejumlah kejanggalan dalam penelitian dan pengembangan vaksin Nusantara.

Salah satu kejanggalan itu adalah tidak adanya validasi dan standardisasi terhadap metode pengujian.

Hasil penelitian pun berbeda-beda, dengan alat ukur yang tak sama.

Selain itu, produk vaksin tidak dibuat dalam kondisi steril.

Antigen yang digunakan dalam penelitian juga tidak terjamin steril dan hanya boleh digunakan untuk riset laboratorium, bukan untuk manusia.

BPOM menyatakan hasil penelitian vaksin itu tidak dapat diterima validitasnya.

Ilustrasi vaksin Covid-19
Ilustrasi vaksin Covid-19 (Fresh Daily)

Baca: Lebih dari 70 Persen Relawan Uji Klinis Vaksin Nusantara Alami Kejadian Tak Diinginkan

Dalam dokumen hasil pemeriksaan oleh BPOM, disebutkan bahwa uji klinis terhadap subjek warga negara Indonesia dilakukan oleh peneliti asing yang tidak dapat menunjukkan izin penelitian.

Bukan hanya peneliti, semua komponen utama pembuatan vaksin Nusantara pun diimpor dari Amerika Serikat.

"Bahwa ada komponen yang betul-betul komponen impor dan itu tidak murah. Plus ada satu lagi, pada saat pendalaman didapatkan antigen yang digunakan, tidak dalam kualitas mutu untuk masuk dalam tubuh manusia," kata Kepala BPOM Penny Lukito dalam rapat dengar dengan Komisi IX DPR RI yang disiarkan secara daring, Kamis (8/4/2021).

Penny, dalam video konferensi pers yang diterima Tribunnews.com, Rabu (14/4/2021), juga mempertanyakan penyebutan vaksin dalam negeri atau vaksin anak bangsa.

Baca: Peneliti Nilai Penyuntikan Vaksin Nusantara kepada Anggota DPR Berpotensi Bingungkan Publik

"Apa kriteria yang disebut dengan vaksin dalam negeri, atau vaksin anak bangsa, itu silakan masyarakat yang menilai. Tapi Badan POM memberikan informasi yang apa adanya, bahwa memang mengandung komponen antigen, komponen-komponen itu yang memang produk impor," kata Penny.

"Mungkin ini akan meluruskan terhadap berbagai klaim yang sudah disampaikan, yang saya kira akan mempengaruhi masyarakat juga," katanya lagi.

Meski menggunakan komponen-komponen impor, BPOM mengatakan yang terpenting adalah kualitas dari vaksin Nusantara tersebut.

"Jadi kami sampaikan bahwa itu memang produk impor dan yang lebih penting bagi Badan POM adalah mutunya, kualitasnya. Apakah itu memang layak dijadikan untuk yang digunakan dalam uji klinik yang menggunakan manusia?" tanya Penny.

Baca: Berikut 2 Hal yang Perlu Dipersiapkan Umat Muslim Ketika Hendak Vaksin Covid-19 saat Puasa

Selain itu, Penny mengatakan masyarakat harus mengetahui bahwa antigen dalam vaksin Nusantara kualitasnya tidak pharmaceutical grade.

"Untuk diketahui bahwa antigen itu dalam kualitas mutu yang tidak pharmaceutical grade. Jadi kalau untuk satu uji klinik yaitu disuntikkan ke manusia harus masuk pharmaceutical grade," ujar Penny.

Penny sekaligus mengingatkan para peneliti agar vaksin Nusantara yang mereka kembangkan aman untuk manusia.

"Ingat bahwa ini adalah produk yang akan disuntikkan ke badan manusia, jadi harus steril, tidak terkontaminasi oleh impurity apapun juga," ujar dia.

 

Sebanyak 71,4 persen relawan uji klinis mengalami KTD

Badan POM mengumumkan data hasil uji klinik fase 1 vaksin Sel Dendritik atau yang dikenal dengan vaksin Nusantara.

Kepala BPOM Penny K. Lukito mengatakan uji klinik fase 1 mengungkapkan sebanyak 20 dari 28 subjek (71,4 persen) mengalami Kejadian yang Tidak Diinginkan (KTD) meskipun dalam grade 1 dan 2.

Seluruh subjek mengalami KTD pada kelompok vaksin dengan kadar adjuvant 500 mcg dan lebih banyak dibandingkan pada kelompok vaksin dengan kadar adjuvant 250 mcg dan tanpa adjuvant.

"Kejadian yang Tidak Diinginkan (KTD) yang terjadi adalah nyeri lokal, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala,
penebalan, kemerahan, gatal, ptechiae, lemas, mual, demam, batuk, pilek dan gatal," ujar Penny dalam keterangan yang diterima Rabu (14/4/2021).

Baca: Pesanan 10 Juta Vaksin AstraZeneca Terlambat, Vaksinasi Massal yang Dijadwalkan Pemerintah Mundur

Menurut Penny, KTD juga terjadi pada relawan grade 3 pada 6 subjek.

Untuk KTD grade 3 rinciannya adalah 1 subjek mengalami hipernatremi, 2 subjek mengalami peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN), dan 3 subjek mengalami peningkatan kolesterol.

Kejadian yang Tidak Diinginkan grade 3 merupakan salah satu kriteria penghentian pelaksanaan uji
klinik yang tercantum pada protokol uji klinik.

Namun berdasarkan informasi tim peneliti saat BPOM melakukan inspeksi, tidak dilakukan penghentian pelaksanaan uji klinik dan analisis yang dilakukan oleh tim peneliti terkait kejadian tersebut.

Penelitian vaksin ini dilakukan oleh tim peneliti dari Balitbangkes Kementerian Kesehatan, RSPAD Gatot Subroto, RSUP Dr. Kariadi, dan Universitas Diponegoro.

Penelitian ini disponsori oleh PT Rama Emerald/PT AIVITA Indonesia bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), Kementerian Kesehatan.

(Tribunnewswiki/Tyo/Tribunnewswiki/Anita K Wardhani)

Simak berita lainna tentang vaksin Nusantara di sini.


Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Pro Kontra Vaksin Nusantara, 40 Anggota DPR Jadi Relawan, BPOM Ragu, hingga Jawaban Peneliti,





BERITATERKAIT
Ikuti kami di
KOMENTAR

ARTIKEL TERKINI

Artikel POPULER

  • Film - Lost in Papua

    Lost in Papua adalah sebuah film Indonesia yang
© 2025 tribunnnewswiki.com,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved