TRIBUNNEWSWIKI.COM - Tragedi penembakan dua masjid di Selandia Baru menyisakan duka mendalam bagi keluarga korban dan mereka yang selamat.
Pengadilan tinggi Christchurch mendatangkan 60 penyintas dan keluarga untuk menyampaikan dampak yang mereka rasakan atas insiden yang terjadi pada Jumat 15 Maret 2019 di tengah berlangsungnya ibadah umat Muslim.
Satu diantaranya adalah Hazem Mohammed, penyintas yang selamat dari tembakan Brenton Tarrant.
Di depan mimbar pengadilan, Selasa (25/8), Hazem Mohammed mengklaim dirinya bertemu pelaku dua minggu sebelum peristiwa yang menewaskan 51 orang ini.
Peringatan: Isi berita di bawah ini berisi rincian peristiwa yang dimungkinkan dapat membuat rasa tidak nyaman bagi pembaca.
Baca: Selamat dari Serangan di Masjid Selandia Baru, Khaled Alnobani: Saya Depresi, Saya Frustasi
Sebelum insiden, pria beruban ini mengaku masuk ke dalam Masjid Al Noor dan duduk di samping pelaku.
"Dia berada di dalam masjid dua minggu sebelum serangan terjadi," kata Hazem kepada Pengadilan Tinggi Christchurch, dilansir New Zealand Herald, Selasa (25/8/2020).
Klaim Hazem berbeda dengan investigasi kepolisian Selandia Baru.
Laporan petugas berwajib menyebut Brenton Tarrant tidak pernah masuk ke dalam masjid sebelum terjadinya serangan.
Sementara fakta persidangan menyebut Tarrant hanya menerbangkan drone untuk mengintai lokasi masjid.
Drone diterbangkan dari atas Gedung Deans Ave, sebelum terjadinya penembakan.
Berpura-pura Mati
Selain klaim tersebut, Hazem menceritakan bagaimana dirinya selamat dari serangan.
Diakuinya bahwa saat penembakan terjadi, Hazem berpura-pura mati untuk menghindari tembakan ke arahnya.
"Saya tidak bergerak atau bersuara sedikit pun. Benar-benar diam. Saya merasakan dia (Brenton) melewati saya, terasa udara saat dia melewati kepalaku," katanya.
"Beberapa detik kemudian dia melewati saya lagi .. Saya bisa menangkap suara tangannya memegang senjata .. Sekitar 3-4 meter jaraknya, dia menembak ke arah saya, 1 inci tipisnya hampir terkena kepala," ucapnya.
Hazem berpura-pura mati dengan menempatkan kepala di pundaknya.
Ia diam dan tak bergerak sama sekali.
"Aku tak bergerak, tak membuat suara apa pun..butuh seluruh kekuatan untuk terus berpura-pura mati," jelasnya.
Hazem menyebut Tarrant telah mengubah hidupnya menjadi lebih buruk.
"Saya telah berada di Christchurch selama 41 tahun, dari 51 orang yang meninggal dunia, saya secara pribadi mengenal 45 diantaranya," katanya.
Sambil bersedih, Hazem memohon kebijaksanaan hakim untuk memberikan hukuman penuh bagi Tarrant.
"Pria ini tak menunjukkan penyesalan .. Saya tidak mau pria ini (Brenton) melihat matahari (bebas)", katanya.
"Tolong, kami tidak ingin orang ini mendapat pembebasan bersyarat, dia harus tinggal di penjara selamanya, dia orang gila, bukan manusia.
"Tolong gunakan kekuatanmu (mintanya ke hakim) ... tolong aku mohon .. Lihatlah orang-orang yang menderita ini, gunakan kekuatanmu," tegasnya.
Pengalaman Alta Sacra Ditelepon Suaminya yang Terluka
Alta Sacra, seorang mualaf asal Amerika menceritakan pengalaman ditelepon suaminya yang terkena tembakan di mimbar Pengadilan Tinggi Christchurch, Selandia Baru, Selasa (25/8/2020).
Perempuan ini adalah satu di antara penyintas dan keluarga korban yang selamat dari penembakan di dalam dua masjid di Selandia Baru oleh terdakwa Brenton Tarrant.
Di hadapan Brenton yang ikut dihadirkan persidangan, Alta menceritakan momentum saat ia tahu suaminya terkena tembakan.
Saat insiden terjadi, Jumat (15/3/2020), ia bangun mendengar dering telepon berbunyi.
Baca: Korban Penembakan di Christchurch, Farisha Razak Sebut Brenton Tarrant Pantas Menderita di Penjara
Pukul 01.59 dini hari, ia angkat telepon sang suami.
Perempuan berusia 35 tahun itu tak jelas mendengar suaminya bicara.
Namun, ia mengaku jelas menangkap suara tangisan, jeritan, rintihan, lafal doa dalam aneka bahasa.
"Ada kekacauan," rintih sang suami di telepon.
"Kacau. Aku kena tembak. Aku jatuh," kata terakhir sang suami.
Baca: Selamat dari Serangan di Masjid Selandia Baru, Khaled Alnobani: Saya Depresi, Saya Frustasi
Seketika teleponnya tertutup.
Alta mengaku tak tahu harus melakukan apa.
Beberapa hari setelahnya, ia mendapat kabar suaminya selamat.
Meski terluka akibat peluru, nyawa sang suami masih tertolong.
Beberapa hari kemudian, Alta mendapat informasi bahwa saat insiden terjadi, sang suami meneleponnya di dalam Masjid Linwood, dilansir New Zealand Herald, Selasa (25/8/2020).
Baca: Sekelompok Massa Berunjuk Rasa di Pengadilan saat Berlangsung Sidang Brenton Tarrant, Ada Apa?
Sang suami diketahui menelpon dirinya dengan luka tembakan setelah pelaku memborbardir jamaah masjid Linwood, Selandia Baru.
Di depan pengadilan, Alta mengaku masih trauma atas peristiwa itu.
Atta Alayyan: Terorisme Itu Tidak Beragama
Mohammad Atta Ahmad Alayan, ayah Ata Elayyan yang terbunuh dalam serangan di dalam masjid, menceritakan dampak yang ia rasakan pasca-serangan di mimbar pengadilan tinggi Christchurch, Selandia Baru.
Di depan mimbar sidang, ia berbicara mengenang kejadian memilukan tersebut.
"Salamku untuk almarhum tercinta, semoga baik-baik saja di sana (akhirat)," katanya memulai pernyataan.
Pria yang memakai kopiah hitam ini sempat menyuruh putranya datang lebih awal ke masjid agar mereka bisa bertukar mobil.
"Hari itu kami mulai dengan indah," katanya.
Baca: Anaknya Tewas dalam Penembakkan Masjid di Selandia Baru, Maysoon Salama: Hatiku Hancur Jutaan Kali
"Saya begitu kesakitan ..sangat khawatir dengan putra saya, (saat itu) saya berdoa agar anak saya terlambat ke masjidnya,"
Namun, kenyataannya sang anak telah datang lebih awal sesuai perintah ayahnya.
"Saya tak menyangka bahwa ada pembantaian saat itu. Saya ingat sepenuhnya saat itu saya jatuh, berdarah hebat .. saya kena tembak dua peluru," imbuhnya.
Sang anak -yang punya nama hampir sama- Ata Ellayan (33) tewas di dalam masjid di tengah berlangsungnya ibadah salat Jumat.
"Penembakan itu (terpikirkan) olehku seolah-olah selamanya .. Saya terus berdoa kepada Allah 'Bunuh dia' katanya merujuk pada pelaku penembakan, Brenton Tarrant.
Diketahui saat insiden tersebut terjadi, ayah ini belum mendapat kabar tewasnya sang anak.
Baca: Imam Masjid Al Noor, Gamal Fouda di Hadapan Terdakwa Brenton Tarrant: Kau itu Sesat dan Salah Arah
"Selama tiga hari kami belum dapat kabar tentang Ata .. lalu datanglah kabar menyedihkan itu - Ata telah pergi," katanya sambil menangis.
Kedua lelaki ini terpisah saat di dalam masjid.
Baca: Berhasil Kabur dari Serangan di Masjid Selandia Baru, Abdiaziz Ali: Saya Melihat Banyak Orang Mati
Alayan jatuh ke tanah dengan luka tembak, tetapi masih selamat.
Alayan berterima kasih kepada staf rumah sakit atas pelayanan mereka.
Ia keluar dari rumah sakit dengan kursi roda.
Setelah cukup sehat, ia turut menyaksikan pemakaman anaknya.
Alayan juga menghadiri peringatan terjadinya insiden dan shalat Jumat seminggu setelah kejadian.
Baca: Imam Masjid Al Noor, Gamal Fouda di Hadapan Terdakwa Brenton Tarrant: Kau itu Sesat dan Salah Arah
Saat hendak melangsungkan ibadah Jumat, ia teringat anaknya, dan melihat semua orang "seperti menghadiri ibadah di Makkah".
Alayan mengaku dirinya begitu sakit kehilangan putranya.
"Tak ada kata-kata yang bisa menggambarkan apa yang saya alami saat itu .. sampai saat ini pun masih," katanya.
"Sejak 25 Maret hingga saat ini, saya butuh adanya keadilan yang setimpal," ungkapnya.
Pria berjenggot putih ini meminta otoritas Selandia Baru untuk menerapkan ulang regulasi hukuman mati.
Baca: Temukan Suaminya Tergeletak Tak Bernyawa, Muhobo Ali Jama: Aku Duduk di Samping dan Memeluknya
"Keadilan harus seimbang ..Saya mengkhawatirkan keselamatan semua warga Selandia Baru jika hukuman untuk kejahatan ganas (seperti ini) tidak seimbang," tegasnya.
"Terorisme itu tidak beragama," tukasnya mengakhiri pernyataan.
Sebagai informasi, Pengadilan Tinggi Christchurch menggelar sidang vonis terdakwa Brenton Tarrant, dengan menghadirkan penyintas dan keluarga korban yang menceritakan dampak yang mereka rasakan.
Terdakwa bersiap menghadapi hukuman penjara seumur hidup dengan 51 dakwaan pembunuhan, 41 dakwaan percobaan pembunuhan, dan 1 dakwaan terorisme.
-
(TRIBUNNEWSWIKI.COM/Dinar Fitra Maghiszha)