TRIBUNNEWSWIKI.COM - Perseteruan antara dua negara adidaya China dan Amerika Serikat (AS) masih terus berlangsung.
Meski tidak ada gesekan langsung secara militer, kedua negara hingga kini saling menekan satu sama lain melalu berbagai jalur, baik secara politik, ekonomi dan urusan-urusan diplomatik.
Terbaru, Amerika Serikat mewacanakan untuk melarang anggota Partai Komunis China untuk menginjakkan kaki di negeri Paman Sam.
Pemerintahan Amerika Serikat pimpinan Presiden Donald Trump dilaporkan sedang meninjau proposal untuk melarang anggota Partai Komunis China bepergian ke Amerika Serikat.
Wang Yi mengatakan, Amerika Serikat (AS) telah meluncurkan berbagai tuduhan tak terbukti terhadap China dan secara sengaja melakukan konfrontasi ideologi.
Wang menambahkan, AS menggunakan pandemi Covid-19 sebagai alasan untuk memfitnah negara-negara lain dan mengalihkan kesalahannya dengan berbagai cara.
Baca: Ingin Berikan Kebebasan untuk Warga AS, Donald Trump Tak Setuju Kewajiban Penggunaan Masker
Baca: Presiden Donald Trump Berniat Melarang Ratusan Juta Orang China Masuk ke Amerika Serikat, Ada Apa?
Dia berujar China tidak akan tunduk oleh kekuatan anti-China oleh AS yang menurutnya sangat kecil tersebut.
Dia menambahkan, China akan mempertahankan kepentingan dan martabatnya.
Sejak hubungan kedua negara memburuk, Wang memperingatkan bahwa hubungan China dengan AS menghadapi tantangan yang paling serius sejak pembentukan hubungan diplomatik pada 1979.
Baca: 8 Perusahaan Asing dari Korea Selatan hingga China Ini Siap Investasi di Indonesia
Menteri Luar Negeri China Wang Yi mengaku berbicara banyak hal dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov dalam percakapan telepon pada Jumat (17/7/2020).
Wang mengatakan, China dan Rusia harus mendukung semua negara dengan sikap yang obyektif dan adil untuk menolak tindakan yang berpotensi merusak tatanan dunia internasional.
Dia menambahkan, China dan Rusia harus bersama-sama menjaga perdamaian dan stabilitas dunia serta menjaga keadilan internasional, sebagaimana dilansir CGTN News, Sabtu (18/7/2020), via laman Kompas.com berjudul China-Rusia Makin Mesra, Keduanya Hujat AS.
Wang mengklaim, setelah Rusia menggelar referendum konstitusi pekan lalu, kedua negara saling berbicara melalui sambungan telepon.
Baca: Presiden Donald Trump Berniat Melarang Ratusan Juta Orang China Masuk ke Amerika Serikat, Ada Apa?
Mereka menekankan dan menegaskan dukungan satu sama lain dan menganggap hubungan China dan Rusia sebagai prioritas kebijakan luar negeri kedua negara.
Wang mengatakan, China dan Rusia harus memperdalam kerja sama dalam menangani pandemi Covid-19 dan memperkuat koordinasi strategis dalam urusan regional maupun internasional.
Lavrov menuturkan, negara yang dipimpin Presiden Vladimir Putin itu bersedia mengikuti pedoman konsensus yang telah dicapai oleh kedua kepala negara, termasuk penguatan kerja sama dalam hal pencegahan dan pengendalian pandemi Covid-19.
Baca: Beda Sikap soal Pembukaan Sekolah di Tengah Pandemi, Donald Trump Sebut Universitas Harvard Konyol
Dia menambahkan, kedua negara ikut mempromosikan sekaligus menyinergikan program mereka, yakni Uni Ekonomi Eurasia yang diinisiasi Rusia dan One Belt One Road yang diinisiasi China.
Lavrov berujar, sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB, Rusia dan China harus lebih memperkuat koordinasi dan kerja sama dalam urusan internasional dan menjaga hukum internasional dan kepentingan bersama kedua negara.
Dia menuduh AS selalu berpikir AS-sentris dan siap mengancam atau memberikan sanksi terhadap negara lain.
Korea Utara ikut menekan Amerika Serikat
Korea Utara menunjukkan dukungan pada sekutunya, China.
Baru-baru ini, Korut menyalahkan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo, atas komentarnya terhadap China soal Laut China Selatan.
Baca: Sebuah Resto Burger King di China Minta Maaf ke Publik setelah Sediakan Bahan Makanan Kedaluwarsa
Komentar itu sekaligus menegaskan keberpihakan Korea Utara di Laut China Selatan, seperti diberitakan Kompas.com dari Korea JoongAng Daily, Rabu (15/7/2020).
Lewat media resmi Pemerintah Korea Utara KCNA, komentar Pompeo tentang Laut China Selatan cukup sembrono.
“Bahwa negara non-Asia di seberang lautan, tidak puas dengan pernyataan cerobohnya atas masalah Laut China Selatan, telah melakukan pelecehan terhadap Partai Komunis China,” bunyi pernyataan itu.
Baca: China Marah dan Minta Amerika Serikat Menghentikan Aksi Provokatifnya di Laut Cina Selatan
Korea Utara buka suara setelah Pompeo mengumumkan bahwa Amerika Serikat secara resmi menolak sebagian besar klaim Beijing di Laut Cina Selatan, Senin (13/7/2020).
Selain itu, Korut juga menuding Pompeo tengah berupaya menodai kepercayaan China terhadap partai Komunis.
Pemerintah Jepang lebih mewaspadai China sebagai ancaman yang nyata dari pada Korea Utara.
Meski Korea Utara juga punya nuklir, China besar-besaran membangun militernya, seperti diberitakan Kontan, Rabu (15/7/2020).
Baca: Buka Suara, Korea Utara Dukung Tiongkok, Salahkan AS Soal Ketegangan di Laut China Selatan
Namun, mungkin pemerintah Jepang akan kembali berpikir setelah Korea Utara menunjukkan keberpihakannya pada China.
Dengan demikian, kekuatan mereka bisa lebih mengancam, seandainya militernya sampai digabungkan.
Anggaran Beijing untuk pertahanan kini empat kali lebih banyak dari Tokyo.
Hal itu untuk membangun militer modern yang besar.
Jepang juga mengklaim China bertanggungjawab atas "propaganda" dan "disinformasi" di tengah "ketidakpastian sosial dan kebingungan" yang disebabkan oleh wabah virus corona.
Tak berhenti di situ, ancaman Jepang bertambah seiring dengan aktivitas militer gabungan yang dilakukan China dan Rusia.
(Tribunnewswiki.com/Ris)