Jepang Sukses Redam Covid-19, Meski Enggan Patuhi Semua Saran WHO dan Tidak Lakukan Lockdown

Tanpa melakukan karantina wilayah seperti China atau Eropa dan tes massal seperti Korea Selatan, Jepang tetap sukses meredam laju Covid-19.


zoom-inlihat foto
ilustrasi-suasana-di-jepang.jpg
Kazuhiro NOGI / AFP
Ilustrasi suasana di Jepang - Orang-orang yang mengenakan masker wajah sebagai tindakan pencegahan terhadap coronavirus COVID-19 di jalan distrik perbelanjaan Ameya-Yokocho, yang terletak di sebelah Stasiun Ueno, di Tokyo pada 11 April 2020. Gubernur Tokyo Yuriko Koike mengatakan pada 10 April bahwa pemerintah metropolitan akan meminta banyak bisnis, termasuk klub malam, ruang karaoke, dan ruang pinball pachinko untuk menangguhkan operasi mulai 11 April karena keadaan darurat terkait epidemi coronavirus.


TRIBUNNEWSWIKI.COM - Jepang saat ini disebut sebagai salah satu negara yang tak terlalu "sibuk" dengan penangangan Covid-19.

Penduduk Jepang yang meninggal karena Covid-19 sangat sedikit.

Padahal Jepang mempunyai penduduk usia lanjut yang sangat rentan terhadap Covid-19.

Tanpa lockdown atau karantina dan melakukan pemberontakan pada WHO, Jepang ternyata cukup berhasil ,engatasi Covid-19.

Misalnya, angka kematian pasien Covid-19 di Korea Selatan lebih rendah dari Jepang.

Menurut data Worldometer, Korea Selatan mencatat 284 kematian atas Covid-19.

Meski pada bulan April, Tokyo mencatat sekitar 1.000 kematian yang disebut karena ada campur tangan Covid-19

Ini sangat mengejutkan karena Jepang memiliki banyak kondisi yang membuatnya rentan terhadap Covid-19 (penduduk usia lanjut yang banyak, seperti Italia).

Tetapi, Jepang tidak pernah mengadopsi pendekatan energik untuk menangani virus yang dilakukan oleh beberapa negara tetangganya.

Baca: Menhan Jepang: Korea Utara Ajak Geger Korsel Hanya untuk Tutupi Kesehatan Kim Jong Un yang Memburuk

Baca: Angkatan Laut Jepang dan India Gelar Latihan Militer Bersama, Peringatan untuk China?

Pada puncak wabah di Wuhan pada bulan Februari, ketika rumah sakit kota kewalahan dan dunia sementara menghentikan kedatangan orang China, Jepang tetap membuka akses ke wilayah mereka.

Per kapita, Jepang memiliki lebih banyak lansia daripada negara lain. Penduduk Jepang juga sebagian memadati kota-kota besar.

Tokyo dan sekitarnya memiliki 37 juta penduduk yang sangat mencengangkan adalah cara umum untuk bepergian di kota ini adalah menggunakan transportasi umum seperti kereta.

Seorang pria bersepeda melewati bis kota (belakang L) untuk mengantarkan batch pertama penumpang yang turun dari kapal pesiar Diamond Princess - dalam karantina karena kekhawatiran akan virus corona COVID-19 yang baru - di Daikoku Pier Cruise Terminal di Yokohama pada bulan Februari 19, 2020. Penumpang yang lega mulai meninggalkan kapal pesiar yang terkena virus corona di Jepang pada 19 Februari setelah dites negatif untuk penyakit yang kini telah merenggut lebih dari 2.000 jiwa di China.
Seorang pria bersepeda melewati bis kota (belakang L) untuk mengantarkan batch pertama penumpang yang turun dari kapal pesiar Diamond Princess - dalam karantina karena kekhawatiran akan virus corona COVID-19 yang baru - di Daikoku Pier Cruise Terminal di Yokohama pada bulan Februari 19, 2020. Penumpang yang lega mulai meninggalkan kapal pesiar yang terkena virus corona di Jepang pada 19 Februari setelah dites negatif untuk penyakit yang kini telah merenggut lebih dari 2.000 jiwa di China. (TRIBALLEAU CHARLY / AFP)

Tentu itu sangat beresiko untuk menularkan Covid-19. Berkerumun dalam satu tempat dan tidak ada jaga jarak.

Selain usia lanjut yang ternyata tidak begitu terdampak Covid-19, Jepang juga "cuek" terhadap saran dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk melakukan massive testing seperti Korea Selatan.

Bahkan hingga sekarang, total tes PCR hanya berkisat di angka 348.000, atau 0,27% dari populasi Jepang.

Ditambah, Jepang juga tidak menerapkan karantina wilayah atau lockdown dengan level seperti yang terjadi di Eropa (tingkat negara) atau lockdown super ketat seperti China dan Vietnam,

Pada awal April, pemerintah Jepang memerintahkan keadaan darurat.

Tetapi permintaan agar penduduk tinggal di rumah bersifat sukarela.

Bisnis yang tidak penting diminta ditutup, tetapi tidak ada sanksi hukum bagi mereka yang menolak.

Banyak negara yang terbukti berhasil menangani Covid-19, seperti Selandia Baru dan Vietnam, menerapkan langkah-langkah keras termasuk menutup perbatasan, karantina wilayah ketat, pengujian skala besar dan karantina yang ketat. Jepang tak melakukan hal ini sama sekali.

Meski semenjak lima bulan kasus Covi-19 pertama dilaporkan di sini, Jepang memiliki kurang dari 20.000 kasus yang dikonfirmasi dan kurang dari 1.000 kematian.

Saat ini, status darurat telah dicabut dan kehidupan dengan cepat kembali normal.

Baca: Jepang Awasi Aktivitas Membahayakan yang Dilakukan China di Laut Perbatasan India-Hong Kong

Baca: AS Berencana Tempatkan Rudal Jarak Menengah di Jepang, China: Kami Tak Akan Tinggal Diam

Selain tak melakukan hal-hal ekstrem seperti negara lain, beberapa peneliti di Jepang mengemukakan bahawa negaranya benar-benar telah merasakan penyebaran penyakit yang semacam Covid-19 ini sejak lama.

Raksasa telekomunikasi Softbank, melakukan pengujian antibodi pada 40.000 karyawan, yang menunjukkan bahwa hanya 0,24% yang terpapar virus.

Testing acak terhadap 8.000 orang di Tokyo dan dua prefektur lainnya telah menunjukkan tingkat paparan yang lebih rendah.

Di Tokyo, hanya 0,1% yang kembali positif Covid-19.

Ketika mengumumkan pencabutan keadaan darurat akhir bulan lalu, Perdana Menteri Shinzo Abe berbicara dengan bangga tentang "Model Jepang", mengisyaratkan bahwa negara-negara lain harus belajar dari Jepang.

Apakah manusia Jepang istimewa?

Wakil Perdana Menteri Taro Aso, mengatakan bahwa melawan Covid-19 tergantung pada "kualitas unggul" orang Jepang.

Dalam pernyataan yang kontroversial itu, Aso mengatakan dia telah diminta oleh para pemimpin negara lain untuk mengabarkan kesuksesan Jepang.

"Saya memberi tahu bahwa antara negara Anda dan negara kami, mindo (tingkat orang) berbeda."

Jika diterjemahkan secara literal, mindo berarti "tingkat kualitas manusia", meskipun secara maknwai bisa berarti dengan "tingkat kebudayaan".

Ini adalah konsep yang berasal dari era kekaisaran Jepang dan menunjukkan rasa superioritas rasial. Sehingga Aso dikecam karena hal ini.

Orang-orang membentuk antrean panjang untuk membeli kebutuhan di supermarket dalam persiapan untuk Typhoon Hagibis yang kuat yang akan datang, di Kanagawa, Yokohama, selatan Tokyo, pada 11 Oktober 2019. Tabung gas untuk kompor masak portabel dan air minum terjual habis setelah waktu buka . (Mainichi / Hiroshi Maruyama)
Orang-orang membentuk antrean panjang untuk membeli kebutuhan di supermarket dalam persiapan untuk Typhoon Hagibis yang kuat yang akan datang, di Kanagawa, Yokohama, selatan Tokyo, pada 11 Oktober 2019. Tabung gas untuk kompor masak portabel dan air minum terjual habis setelah waktu buka . (Mainichi / Hiroshi Maruyama) (Mainichi / Hiroshi Maruyama)

Tetapi tidak ada keraguan bahwa banyak orang Jepang, dan beberapa ilmuwan, berpikir ada sesuatu tentang orang Jepang yang berbeda, yang bahkan disebut "Faktor X" sehingga melindungi penduduk dari Covid-19.

Misalnya adat Jepang tentang enggan berpelukan cium pipi ketika bertemu bisa cepat bertransformasi dalam dimensi "physical distancing", salah satu cara dalam mencegah Covid-19.

Profesor Universitas Tokyo, Tatsuhiko Kodama, yang mempelajari bagaimana pasien Jepang bereaksi terhadap virus percaya bahwa Jepang mungkin pernah menderita Covid sebelumnya.

Bukan Covid-19, tetapi sesuatu patogen atau virus serupa yang bisa meninggalkan kekebalan secara historis.

Ketika virus memasuki tubuh manusia, sistem kekebalan menghasilkan antibodi untuk menyerang patogen yang menyerang.

Ada dua jenis antibodi, yakni IGM dan IGG.

Cara mereka merespons dapat menunjukkan apakah seseorang pernah terkena virus sebelumnya, atau yang serupa.

"Dalam infeksi virus primer (baru), respons IGM biasanya didahulukan oleh tubuh," kata Tatsuhiko Kodama.

Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe.
Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe. (Kyodo via SCMP)

"Kemudian respons IGG muncul kemudian."

"Tetapi dalam kasus sekunder (paparan sebelumnya) limfosit sudah memiliki memori, dan hanya respons IGG yang meningkat dengan cepat."

Jadi, apa yang terjadi dengan pasiennya?

"Ketika kami melihat tes kami terkejut, pada semua pasien respon IGG datang dengan cepat, dan respon IGM muncul kemudian dan lemah. Sepertinya mereka sebelumnya terkena virus yang sangat mirip."

Dia berpikir ada kemungkinan virus seperti SARS telah beredar di wilayah tersebut sebelumnya, yang dapat menyebabkan tingkat kematian yang rendah, tidak hanya di Jepang, tetapi di sebagian besar China, Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong dan Asia Tenggara.

Namun, teori ini ditanggapi skeptis sejumlah pihak.

"Saya tidak yakin bagaimana virus semacam itu dapat dibatasi untuk Asia," kata Profesor Kenji Shibuya, direktur Kesehatan Masyarakat di Kings College, London dan mantan penasihat senior pemerintah.

Profesor Shibuya tidak mengabaikan kemungkinan perbedaan regional dalam kekebalan atau kerentanan genetik terhadap Covid.

Tapi dia curiga dengan ide "Faktor X" yang menjelaskan perbedaan angka kematian.

Dia berpikir negara-negara yang telah berhasil dengan baik melawan Covid-19, telah melakukannya untuk alasan yang sama, mereka berhasil mengurangi transmisi secara dramatis.

Seperti diketahui, orang Jepang mulai mengenakan masker wajah lebih dari 100 tahun yang lalu selama pandemi flu Spanyol dan budaya itu terus berlaku setelahnya.

Baca: Kalahkan Teknologi AS, Super Komputer Fugaku Jepang Kini Tercepat di Dunia: Bantu Tangani Covid-19

Baca: Kalahkan Teknologi AS, Super Komputer Fugaku Jepang Kini Tercepat di Dunia: Bantu Tangani Covid-19

Di Jepang, jika orang menderita batuk atau pilek, maka dia akan mengenakan masker untuk melindungi orang-orang di sekitarnya.

"Saya pikir itu (masker) bertindak sebagai penghalang efektif."

"Tetapi masker juga berfungsi sebagai pengingat bagi semua orang untuk berhati-hati. Bahwa kita masih harus berhati-hati satu sama lain," kata Keiji Fukuda, spesialis influenza dan direktur Sekolah Kesehatan Masyarakat di Universitas Hong Kong.

Jepang pada 1950-an pernah melawan gelombang tuberkulosis.

Pemerintah membentuk jaringan nasional pusat kesehatan masyarakat untuk mengidentifikasi infeksi baru dan melaporkannya ke kementerian kesehatan.

Jika dicurigai penularan dari masyarakat, tim spesialis dikirim untuk melacak infeksi, bergantung pada penelusuran dan isolasi kontak manusia yang teliti.

Sejak awal Covid-19 mengubah pola hidup

Jepang juga menemukan dua pola penting di awal pandemi.

Kazuaki Jindai, seorang peneliti medis di Universitas Kyoto dan anggota gugus tugas penangangan, mengatakan data menunjukkan lebih dari sepertiga infeksi berasal dari tempat yang sangat mirip.

"Angka-angka kami menunjukkan bahwa banyak orang yang terinfeksi telah mengunjungi tempat-tempat musik di mana ada teriakan dan nyanyian, kami tahu itu adalah tempat yang harus dihindari orang."

Tim lalu mengidentifikasi bahwa nafas berat dalam jarak dekat termasuk bernyanyi di pusat karaoke, pesta, bersorak di klub malam, percakapan di bar dan berolahraga di gym sebagai kegiatan berisiko tinggi.

Kedua, tim menemukan bahwa penyebaran infeksi turun ke sebagian kecil dari mereka yang membawa virus.

Sebuah studi awal menemukan sekitar 80% dari mereka dengan SARS Covi-2 tidak akan menginfeksi orang lain, sementara sisanya akan menularkan.

Penemuan ini menyebabkan pemerintah meluncurkan kampanye peringatan nasional orang untuk memperhatikan dan mengindari beberapa hal seperti:

  • Ruang tertutup dengan ventilasi buruk
  • Tempat ramai dengan banyak orang
  • Tutup pengaturan kontak seperti percakapan tatap muka.

"Saya pikir (himbauan) itu mungkin bekerja lebih baik daripada hanya menyuruh orang untuk tinggal di rumah," kata Dr Jindai.

Meskipun tempat kerja tidak dimasukkan dalam daftar, diharapkan kampanye ini akan cukup memperlambat penyebaran untuk menghindari lockdown dan lebih sedikit infeksi berarti lebih sedikit kematian.

Perdana Menteri Shinzo Abe memerintahkan keadaan darurat pada 7 April, meminta orang untuk tinggal di rumah "jika mungkin".

"Jika langkah-langkah seperti itu ditunda, kami mungkin telah mengalami situasi yang sama seperti New York atau London. Tingkat kematian (di Jepang) rendah," kata Shinzo Abe.

ILUSTRASI suasana di Jepang saat pandemi Covid-19 --- Orang-orang berjalan di jalan sepi di tengah kekhawatiran tentang penyebaran virus corona COVID-19 di distrik perbelanjaan Ameya-Yokocho, yang terletak di sebelah Stasiun Ueno di Tokyo pada 11 April 2020. Gubernur Tokyo Yuriko Koike mengatakan pada 10 April bahwa pemerintah metropolitan akan meminta banyak bisnis, termasuk klub malam, tempat karaoke, dan tempat pinball pachinko untuk menunda operasi mulai 11 April karena keadaan darurat terkait epidemi coronavirus.
ILUSTRASI suasana di Jepang saat pandemi Covid-19 --- Orang-orang berjalan di jalan sepi di tengah kekhawatiran tentang penyebaran virus corona COVID-19 di distrik perbelanjaan Ameya-Yokocho, yang terletak di sebelah Stasiun Ueno di Tokyo pada 11 April 2020. Gubernur Tokyo Yuriko Koike mengatakan pada 10 April bahwa pemerintah metropolitan akan meminta banyak bisnis, termasuk klub malam, tempat karaoke, dan tempat pinball pachinko untuk menunda operasi mulai 11 April karena keadaan darurat terkait epidemi coronavirus. (Kazuhiro NOGI / AFP)

"Tetapi sebuah studi baru-baru ini oleh Universitas Columbia menunjukkan bahwa jika New York telah menerapkan karantina wilayah dua minggu sebelumnya, itu akan mencegah puluhan ribu kematian," kata Prof Shibuya.

Sebuah laporan baru-baru ini oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat menemukan orang dengan kondisi medis yang mendasarinya seperti penyakit jantung, obesitas dan diabetes enam kali lebih mungkin dirawat di rumah sakit jika mereka menderita Covid-19 dan 12 kali lebih mungkin meninggal.

Jepang memiliki tingkat penyakit jantung koroner dan obesitas terendah di negara maju. Namun, para ilmuwan bersikeras bahwa tanda-tanda vital semacam itu tidak menjelaskan segalanya.

"Perbedaan fisik semacam itu mungkin memiliki beberapa efek tetapi saya pikir area lain lebih penting."

"Kami telah belajar dari Covid bahwa tidak ada penjelasan sederhana untuk fenomena yang kami lihat. Banyak faktor yang berkontribusi terhadap hasil akhir, "kata Prof Fukuda.

Meskipun tidak memerintahkan orang untuk tinggal di rumah, secara keseluruhan, orang Jepang bersedia melakukannya.

Pemerintah Jepang meminta orang untuk berhati-hati, menjauh dari tempat-tempat ramai, memakai masker dan mencuci tangan. Hal ini dilakukan dengan baik oleh para warga hingga kini.

(Tribunnewswiki.com/Ris)

Artikel telah tayang di Tribunnews.com berjudul Tanpa Lockdown dan 'Lawan WHO', Jepang Malah Bikin Dunia Tercengang, Ini Rahasianya Lawan Covid-19.





Penulis: Haris Chaebar
BERITATERKAIT
Ikuti kami di
KOMENTAR

ARTIKEL TERKINI

Artikel POPULER

© 2025 tribunnnewswiki.com,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved