TRIBUNNEWSWIKI.COM - Pemerhati HAM dan Pakar Hukum Tata Negara Herlambang P. Wiratman memberikan komentar terhadap kebijakan pemerintah.
Terutama kebijakan mengenai pandemi corona atau Covid-19 di Indonesia.
Pendapatnya tersebut diungkapkan dalam webinar 'Memahami Dinamika Arah Kebijakan Publik saat Pandemi Covid-19 dalam Perspektif Hukum dan Politik'.
Dikatakan Herlambang pada Rabu (10/6/2020), kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah terkesan antisains.
Pernyataan tersebut didukung dengan adanya ilmuwan yang merasa tidak dilibatkan dalam membuat kebijakan.
Terutama yang disorot oleh Herlambang seperti yang dikutip dari Tribunews, adalah epidemiolog.
Baca: MUI Sampaikan Adanya Pertentangan Kebijakan Pemerintah Saat Tangani Covid-19 di Masjid & Tempat Umum
Baca: Ahli Psikologi Politik Soroti Kebijakan Indonesia Tangani Covid-19 : Hanya Perlu Dukungan Masyarakat
Padahal peran dan fungsi epidemiolog saat pandemi corona adalah untuk mengambil keputusan dalam kebijakan publik.
Yaitu dengan mengidentifikasi faktor risiko dan tujuan pencegahan penyakit tertentu seperti Covid-19.
"Dalam perkembangannya, kebijakan-kebijakan (pemerintah) terkesan kuat anti sains. Ilmuwan merasa tidak dilibatkan, terutama epidemiolog," ucap Herlambang.
"Ini merupakan refleksi kebijakan yang mencerminkan kepemimpinan anti sains," tegasnya.
Padahal, menurut Herlambang kepemimpinan anti sains akan sangat berbahaya bagi masyarakat dan negara itu sendiri.
Bahaya yang dimaksud tersebut adalah tak lepas dari prioritas kebijakan yang diambil bukan berdasarkan pada penjelasan yang rasional dari sudut pandang ilmiah.
"Tapi menggunakan asumsi, argumen kepentingan diluar kesehatan, di luar pertimbangan penyelamatan manusia dan seterusnya. Saya kira sudah banyak yang menulis di media dan ilmuwan sudah mengatakan kekhawatirannya," kata Herlambang.
Selain itu, Herlambang mengatakan sejak awal strategi kebijakan atau pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah tidak cukup kuat.
Dia mencontohkan pengambilan kebijakan yang berubah-ubah dari darurat masyarakat menjadi bencana nasional non alam.
Pertanyaan juga muncul karena standar pemenuhan bencana nasional non alam adalah pemenuhan kebutuhan hak dasar.
Namun yang terjadi di lapangan adalah berdasarkan charity atau kedermawanan.
"Harusnya itu ditetapkan sebagai kewajiban, dan bukan kedermawanan. Itu menunjukkan bahwa langkah ini patut dipertanyakan efektivitasnya dan sejauh mana masyarakat akan bisa terlindungi ketika ada kebijakan yang sama sekali jauh dari realisasi progresif," tandasnya.
Kebijakan New Normal dinilai bias kelas
Herlambang juga memberikan komentarnya terkait kebijakan new normal di tengah pandemi corona cenderung bias kelas.
Misalnya penerapan kebijakan masa transisi new normal yang justru membuat penumpukan di angkutan umum massal.
Menurutnya, apa yang disaksikan di stasiun-stasiun Jakarta pada awal penerapan masa transisi tak bisa ditampik akan mempermudah penyebaran Covid-19.
Pasalnya, orang-orang saling bertumpuk, tidak ada physical distancing atau pembatas.
Herlambang kemudian mengatakan kerentanan akan pandemi hanya bisa dirasakan oleh mereka yang berada di kelas rendah.
Yaitu kelas yang menurutnya selama ini memang tidak cukup diuntungkan secara sosial ekonomi.
"Mereka adalah yang bergantung di sektor informal, pekerja yang tidak punya opsi atau alternatif dalam hidupnya, mereka yang terpaksa harus turun keluar dari rumah karena keadaan, karena upaya perlindungannya juga tidak berjalan," kata Herlambang.
"Nah bias kelas ini tidak pernah dipikirkan, ini problemnya adalah karena memang dari awal konsep realisasi progresifnya nggak ada," imbuhnya.
Herlambang menegaskan semua pihak menyadari bahwa pemerintah memiliki keterbatasan anggaran.
Namun, seharusnya pemerintah bisa menetapkan pihak mana yang harus lebih diprioritaskan atau difokuskan terlebih dahulu proteksinya.
Dari sudut pandang HAM, dia meminta agar pemerintah memikirkan bagaimana dampak hak atas hidup, hak atas kesehatan, dan hak atas pemenuhan kebutuhan dasar sebagai upaya menjamin penghidupan layak bagi kemanusiaan.
"Itu hanya mungkin jika pemerintah menjelaskan dampak seperti apa yang akan terjadi kepada masyarakat. Nah dasar untuk menjelaskan itu yakni jika pemerintah sudah punya evaluasi atas dampak itu sebelumnya," katanya.
"Kalau nggak (punya), saya kira saya bisa mengatakan pemerintah akan mengorbankan warga negaranya," tandas Herlambang.
Baca: New Normal, Berikut Barang yang Wajib Dibawa ke Kantor untuk Menghindari Penularan Covid-19
Baca: NEW NORMAL: Perkantoran di Jakarta Mulai Buka, Penumpang KRL di Bogor Antre Sampai Parkiran
Baca: Pro dan Kontra Kebijakan Kemendikbud yang Tak Mundurkan Tahun Ajaran Baru 2020/2021
(TRIBUNNEWSWIKI/Magi, TRIBUNNEWS/Vincentius Jyestha)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul "Pakar Hukum Tata Negara: Anti Sains Kebijakan Pemerintah Hadapi Pandemi Covid-19" dan "Kebijakan New Normal Dinilai Bias Kelas, Warga Ekonomi Menengah ke Bawah Rentan Terpapar Covid-19"