TRIBUNNEWSWIKI.COM - Perdana Menteri Irak yang baru, Mustafa al-Kadhimi, mulai menjabat setelah parlemen Irak menyetujui pemerintahan baru, pada Rabu (6/5/2020).
Pembentukan pemerintahan baru ini terhitung alot, dengan melewati hampir enam bulan ketegangan politik.
Parlemen menyetujui 15 dari proyeksi 22 menteri kabinet, seperti diberitakan Aljazeera.
Lima kandidat ditolak, sementara pemungutan suara pada dua menteri ditunda.
Hal ini membuat pemerintahan baru Irak masih menyisakan kekosongan tujuh posisi menteri, termasuk posisi penting, yaitu di bidang minyak dan luar negeri.
Dua calon perdana menteri sebelumnya, Mohammed Tawfiq Allawi dan Adnan al-Zurfi, gagal mendapatkan dukungan yang cukup di antara para menteri kabinet.
Baca: 40 Hari Kematian Soleimani, Roket Katyusha Hantam Pangkalan Militer AS di Irak
Baca: Harga Minyak Bumi Jatuh, Para Menteri Bidang Energi Negara G-20 Gelar Pertemuan Virtual
Hal ini menyebabkan Presiden Barham Salih menunjuk al-Kadhimi sebagai kandidat ketiga bulan lalu, meski memiliki latar belakang protes anti-pemerintah.
Protes dimulai pada Oktober 2019 setelah ribuan warga Irak turun ke jalan dan menyerukan perombakan pemerintah.
Tanggapan-tanggapan keras oleh pasukan keamanan pemerintah, yang menewaskan ratusan pemrotes, memaksa Perdana Menteri Adel Abdul Mahdi untuk mengundurkan diri, meskipun ia tetap menjalankan tugas sementara sampai Allawi diangkat pada awal Februari.
Sebelum sesi pemungutan suara di kabinet baru pada hari Rabu, al-Kadhimi mengatakan pemerintahnya akan menjadi "berbasis solusi, bukan pemerintah krisis".
Dia menjanjikan penyelenggaraan pemilihan awal dan menolak penggunaan Irak sebagai medan pertempuran oleh negara lain.
Perdana menteri juga berjanji untuk mengatasi dampak dari krisis ekonomi dengan merasionalisasi pengeluaran dan bernegosiasi untuk mengembalikan pangsa ekspor minyak Irak.
Baca: Tuduh China Penyebab Pandemi Virus Corona, Donald Trump: Lebih Buruk dari Serangan Pearl Harbor
Baca: Uni Emirat Arab Kirim 20 Ton Alat Kesehatan ke RI, Luhut: Balasan Mr Suhail Atas Pesan Singkat Saya
Mengenal Rekam Jejak Mustafa Al Kadhimi
Terlahir dengan nama Mustafa Abdellatif Mshatat pada tahun 1967 di ibukota Baghdad, ia meninggalkan Irak pada tahun 1985 ke Iran, sebelum pindah ke Jerman dan Inggris.
Ia memegang gelar sarjana hukum.
Meski demikian, ia lebih dikenal karena pekerjaannya sebagai jurnalis, di mana ia memilih gelar al-Kadhimi.
Dia diketahui menentang aturan mendiang diktator Irak Saddam Hussein.
Setelah invasi Amerika Serikat ke Irak pada tahun 2003, al-Kadhimi kembali ke Irak dan mendirikan Jaringan Media Irak.
Ia juga menjadi direktur eksekutif Yayasan Memori Irak, sebuah organisasi yang didirikan dengan tujuan untuk mendokumentasikan kejahatan di bawah pemerintahan Hussein.
Al-Kadhimi juga menjabat sebagai pemimpin redaksi majalah Newsweek Irak selama tiga tahun sejak 2010.
Ia juga seorang penulis opini serta editor bagian Irak di situs web Al-Monitor yang berbasis di AS.
Pada Juni 2016, al-Khadhimi mengambil alih peran direktur Badan Intelijen Nasional Irak, mengingat intensifikasi pertempuran melawan Islamic State of Iraq and the Levant (ISIL, juga dikenal sebagai ISIS).
Selama masa jabatannya, ia menjalin hubungan dengan puluhan negara dan lembaga yang beroperasi dalam koalisi internasional pimpinan AS melawan ISIL.
Selama kunjungan ke ibu kota Saudi, Riyadh, pada 2017, ditemani oleh mantan Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi, al-Kadhimi terlihat memeluk temannya, Pangeran Mahkota Saudi Mohammed bin Salman (MBS).
Pandai Menjalin Hubungan Politik
Baca: Kasus Positif Covid-19 Capai 20 Ribu Sehari, Trump Berencana Bubarkan Gugus Tugas Virus Corona
Baca: Punya Risiko Kesehatan Tinggi, Presiden AS Donald Trump Tetap Fokus Buka Ekonomi di Tengah Pandemi
Al-Kadhimi dikenal pandai membina hubungan dengan semua pemain utama politik Irak.
Selain itu, dirinya juga memiliki hubungan yang baik dengan AS.
Baru-baru ini, ia mulai menjalin hubungan dengan menjangkau Iran.
Meski demikian, menurut analis politik Irak Hisham al-Hashimi, al-Kadhimi tidak menghadapi tugas yang mudah untuk memperbaiki keadaan negara itu.
"Saya tidak meragukan kemampuannya dalam masalah teknis seperti membentuk undang-undang yang adil dan komisi yang adil," kata al-Hashimi kepada Al Jazeera.
"Dia akan berhasil dalam mempersiapkan pemilihan awal, tetapi waktunya tidak berpihak kepadanya karena kondisi ekonomi yang mengerikan dan penyebaran pandemi coronavirus."
(TRIBUNNEWSWIKI.COM/Ahmad Nur Rosikin)