Kala itu, kebanyakan masjid di Nusantara belum memiliki menara karena bukan merupakan tradisi pelengkap masjid di Jawa.
Untuk mencapai puncak menara, pengunjung harus menaiki 83 anak tangga melalui lorong yang hanya mampu dilewati satu orang.
Dari atas menara tersebut, pengunjung bisa melihat perairan lepas pantai yang hanya berjarak 1,5 kilometer dari lokasi masjid.
Perbedaan lainnya adalah letak masjid.
Pada umumnya, masjid tua di Pulau Jawa berada di sisi barat, namun Masjid Agung Banten terletak di sisi utara.
Adapun di sebelah baratnya terdapat makam Syarif Husein yang merupakan penasihat Maulana Hasanuddin.
Tata bangunan masjid mendapat pengaruh dari tiga arsitek yang memiliki latar belakang berbeda.
Arsitek pertama adalah Raden Sepat yang berasal dari Kerajaan Majapahit.
Raden Sepat juga terlibat dalam pembangunan Masjid Agung Demak dan Masjid Ciptarasa Cirebon.
Arsitek kedua berasal dari negeri Cina, yakni Tjek Ban Tjut.
Arsitek ini memberikan pengaruh kuat pada bentuk atap masjid bersusun lima layaknya pagoda Cina.
Tjek Ban Tjut memperoleh gelar Pangeran Adiguna sebagai penghargaan atas jasanya dalam membangun masjid.
Arsitek ketiga adalah seorang Belanda yang kabur dari Batavia ke Banten, Hendrik Lucaz Cardeei.
Arsitek berstatus mualaf tersebut memberikan pengaruh pada bentuk menara layaknya mercusuar di Negeri Kincir Angin.
Lucaz pun mendapat gelar kehormatan Pangeran Wiraguna.
Menara tersebut berfungsi sebagai menara pandang atau pengamat ke lepas pantai serta digunakan untuk menyimpan senjata dan amunisi pasukan Banten.
Masjid Agung Banten memiliki banyak makna filosofis pada setiap detailnya.
Enam pintu masjid menggambarkan rukun iman.
Pintu masuk tersebut sengaja dibuat pendek sehingga memaksa pengunjung merunduk sebagai simbol ketundukan kepada Sang Pencipta.
Adapun tiang masjid berjumlah24 buah sebagai simbol waktu 24 jam.