Saat ini kamar itu dihuni oleh 14 orang lansia.
"Masa iya sama ibu-ibu lansia masih suka belok. Di kamar lansia itu ada 14 orang, paling tua 62 tahun. Jadi itu kebijakan standar sifatnya penindakan untuk mengantisipasi kelainan seks," ucap dia.
Fenomena seks menyimpang ini jadi perhatian para petugas lapas maupun rutan.
"Pencegahan lainnya, penghuni rutan yang terindikasi belok, harus pakai anting, rambutnya harus panjang. Intinya supaya kembali normal, begitu A," ujar Lilis.
Selama ini, melaksanakan tugas dan kewenangannya, ia sudah mengantisipasi perilaku seks menyimpang.
Salah satunya, memberikan edukasi soal bahaya seks menyimpang dengan contoh-contoh akibatnya, seperti penyakit menular seksual.
"Kedua pendekatan persuasif kepada mereka dengan membatasi ruang gerak supaya tidak terjadi perilaku seks menyimpang. Kemudian ketiga, mengubah perilaku supaya perempuan harus seperti perempuan, laki-laki sebagai laki-laki," ucapnya.
Salah satunya, mengunakan pakaian perempuan sebagaimana lazimnya, sekalipun negara sudah memberikan baju khusus untuk mereka, yaitu warna oranye untuk tahanan rutan dan biru untuk warga binaan di lapas.
"Kalau di kamar mah ya mereka pakai daster. Intinya diarahkan pakai pakaian perempuan, pakai rok, pakai anting, ya sebagaimana lazimnya perempuan," ucap dia.
Hal senada dikatakan Kepala Lapas Perempuan Bandung, Putranti Nurwati. Ia memberlakukan kebijakan yang sifatnya tidak memaksa ihwal penggunaan pakaian.
"Anak-anak di Lapas Perempuan Bandung saya arahkan untuk konsisten memakai pakaian perempuan. Tapi sifatnya memang tidak wajib ya," ujar dia.
Baca: 2 Kasus Penyerangan Terjadi di Yogyakarta: #DIYdaruratklitih Trending, Apa Sebenarnya Klitih?
Baca: Leishenshan, Rumah Sakit Khusus Corona Kedua di Cina Hampir Selesai Dibangun: Kamis Mulai Beroperasi
Bukan Fenomena Baru
Rupanya, perilaku seks menyimpang di Lapas dan Rutan bukan hal yang baru.
Beberapa waktu lalu, hal ini bahkan sempat pula diakui Kepala Kanwil Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Jabar, Liberti Sitinjak.
Saat itu, ia mengatakan, kondisi lapas dan rutan yang kelebihan kapasitas menjadi penyebabnya.
"Ibarat kata, kondisi itu membuat kaki ketemu kaki, kepala ketemu kepala, badan ketemu badan. Dampaknya, muncul homoseksualitas dan lesbi," ujar Liberti dalam acara penguatan pelaksanaan tugas pelayanan, penegakan hukum dan HAM bagi pegawai Kanwil Kemenkumham Jabar di Sport Arcamanik, pertengahan tahun lalu.
Meski demikian, Liberti menolak mengungkap persentase napi dan tahanan yang menderita penyimpangan seksual, serta di lapas dan rutan mana saja hal itu terjadi.
"Setidaknya gejala itu ada. Bagaimanapun, seseorang yang sudah berkeluarga, masuk ke lapas, otomatis kebutuhan biologisnya tidak tersalurkan. Jadi gejala itu ada, tapi tidak etis saya buka," ujar Sitinjak.
Ditemui pada acara yang sama, seorang petugas salah satu lapas di Kota Bandung, mengaku pernah memergoki aktivitas menyimpang itu.
"Pernah melihat perilaku homoseks seperti itu. Saya kebetulan lihat laki-laki sama laki-laki," ujar seorang petugas lapas itu.
Biasanya, kata dia, perilaku itu terjadi di kamar tahanan saat siang hari.
Kalau malam hari, umumnya napi sudah berada di dalam kamar.
"Siang hari, saat saya kontrol, saya lihat dua napi berduaan di kamar, di pojokan dekat toilet. Perbuatannya, intinya, tidak normal. Saya enggak sengaja melihat dan saya langsung tegur," ujarnya.
(TRIBUNNEWSWIKI.COM/Nur/TribunJabar.id/Mega Nugraha)