Bukan atas dasar suka sama suka, baik dalam kekerasan maupun non kekerasan.
Jennyfer mengatakan hasrat seksual bukanlah satu-satunya alasan dilakukannya pemerkosaan.
Motivasi pemerkosaan bisa karena power, anger atau kemarahan, dominance atau dominasi, dan control.
Baca: Kejahatan Reynhard Sinaga Terungkap Berkat Pria Ini: Korban Mengaku Digigit saat Berusaha Kabur
Baca: Mengenal Efek Bahaya GHB, Rape Drugs yang Diduga Digunakan Reynhard Sinaga dalam Melancarkan Aksinya
Motivasi pemerkosaan telah dianalisis oleh beberapa peneliti dan bisa disimpulkan sebagai berikut:
1. Kekerasan seksual merupakan aksi agresif, faktor utama dari banyak kekerasan seksual adalah kekuatan dan kontrol terhadap korban, bukan hasrat seksual.
2. Seks menjadi medium yang digunakan untuk mengekspresikan perasaan-perasaan non-seksual seperti kemarahan, ketidakberdayaan, kontrol, dominasi, dan kekuatan (power).
3. Kekerasan seksual digunakan untuk “menggantikan perasaan tidak berdaya, memperlihatkan kemampuan seksual, menegaskan identitas, menguatkan eksistensi diri di kalangan teman, mengurangi anxiety seksual, mendapatkan gratifikasi seksual, dan mengatasi frustasi.”
“Tidak semua orang yang punya kontrol dan kekuatan melakukan pemerkosaan," kata Jennyfer.
"Maksudnya adalah ketika melakukan pemerkosaan, si pemerkosa merasa memiliki kontrol penuh atas korban, menguasai si korban, dan merasa memiliki kekuatan untuk melakukan apa saja terhadap korban,” lanjutnya.
Penyimpangan perilaku seksual
Terkait pemerkosaan beruntun yang dilakukan oleh Reynhard, dr Dharmawan Ardi Purnama, Sp.KJ selaku Dokter Spesialis Kejiwaan menjelaskan bahwa hal itu lebih dari sekadar pemenuhan kebutuhan seksual.
“Saat memerkosa dia merekam dan berkali-kali, itu berarti bukan sekadar kebutuhan seksual. Itu penyimpangan seksual. Dia mau melakukan itu dengan lawan yang tidak sadar,” tuturnya.
Penyimpangan perilaku seksual bukan berarti orientasi seksual.
“Bukan masalah orientasi seksualnya sebagai gay, tapi penyimpangan perilaku seksualnya. Perkosaan itu kan tindakan agresivitas, ditambah lagi dengan tindakan merekam dan fantasi seksual lainnya,” tutup dr Dharmawan.
Hal itu dibenarkan oleh Jennyfer.
Menurut psikolog klinis tersebut, edukasi, finansial, dan fisik bukan merupakan patokan moralitasnya.
(TRIBUNNEWSWIKI/Magi, TRIBUNNEWS/Fransiskus Adhiyuda, KOMPAS/Sri Anindiati Nursastri )