TRIBUNNEWSWIKI.COM - Siapa sangka pahlawan nasional pertama di Indonesia adalah seorang sastrawan dan jurnalis.
Abdul Muis diberi gelar pahlawan nasional pertama di Indonesia pada tahun 1959.
Gelar pahlawan nasional yang diberikan kepada Abdul Muis merupakan gelar pahlawan nasional pertama kali di Indonesia yang kemudian dilanjutkan menjadi kegiatan rutin kenegaraan.
Pemerintah Republik Indonesia menganugerahi gelar Abdul Muis sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan (SK) Presiden Republik Indonesia No. 2183/59 pada tanggal 30 Agustus 1959.
Baca: PAHLAWAN NASIONAL – Abdul Kahar Muzakir
Baca: PAHLAWAN NASIONAL - Prof. Dr. Sardjito
Siapa Abdul Muis?
Abdul Muis adalah seorang sastrawan sekaligus jurnalis, aktivis, dan politikus.
Abdul Muis lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, pada 3 Juli 1886.
Ayah Abdul Muis berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat, yang terkemuka dan berpengaruh.
Sedangkan Ibu Abdul Muis berasal dari Jawa dan memiliki keahlian pencak silat.
Abdul Muis bergelar Soetan Penghoeloe, beragama Islam dan aktif mengikuti organisasi politik beraliran Islam.
Abdul Muis memulai pendidikannya di Europees Lagere School (ELS), kemudian melanjutkan ke Kleinambtenaarsexamen (Amtenar Kecil), dan tiga tahun di STOVIA (Sekolah Dokter) di Jakarta, namun keluar lebih awal karena sakit.
Dalam perjalanan politiknya, Abdul Muis adalah anggota Sarekat Islam (SI) pimpinan Tjokroaminoto.
Pada saat SI terbelah, Abdul Muis merupakan tokoh SI Putih bersama Agoes Salim yang menjadi rival politik SI Merah pimpinan Semaoen dan Darsono.
Tercatat, Abdul Muis pernah menggerakkan rakyat untuk melakukan pemogokan untuk persoalan pemecatan sepihak pekerja, menolak sistem pajak pemerintah Hindia Belanda dan lain sebagainya.
Abdul Muis adalah juga seorang sastrawan yang terkenal dengan novel berjudul "Salah Asuhan".
Abdoel Moies meninggal di Bandung pada 17 Juni 1959 dan diangkat menjadi pahlawan nasional Indonesia yang pertama pada 30 Agustus 1959.
Riwayat Pekerjaan dan Organisasi
Abdul Muis tercatat pernah magang di Departemen van Onderwijs en Eredienst, yaitu departemen yang dipimpin oleh Abendanon.
Kemudian, Abdul Muis diangkat menjadi Klerk di departemen tersebut pada tahun 1903 karena keahlian Bahasa Belanda.
Namun demikian, Abdul Muis keluar dari departemen tersebut karena tidak disukai oleh pegawai-pegawai Belanda.
Ketidaksukaan orang-orang Belanda terhadap Abdul Muis disebabkan karena sifat-sifat nasionalisme yang diperlihatkan Abdul Muis di depan para pegawai orang-orang Belanda.
Abdul Muis kemudian diterima bekerja sebagai korektor di kantor harian De Preanger Bode di Bandung.
Kepandaian Abdul Muis dalam Bahasa Belanda, menjadikan dirinya diangkat sebagai hoofdcorrector di kantor harian tersebut.
Abdul Muis tercatat merupakan anggota dari Sarekat Islam yang dipimpin oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto.
Abdul Muis diangkan menjadi pemimpin redaksi surat kabar Kaum Muda, yaitu surat kabar terbitan Serikat Islam di Bandung.
Dalam surat kabar tersebut, Abdul Muis sering menulis dengan nama sandi “A.M”
Dalam organisasi Sarekat Islam, Abdul Muis aktif dalam gerakan memperjuangkan otonomi yang luas bagi Hindia Belanda sepanjang Perang Dunia I.
Abdul Muis masuk sebagai anggota delegasi “Comite Indie Weerbaar” (Panitia Pertahanan Hindia).
Pada tahun 1917, Abdul Muis berkunjung ke Negeri Belanda.
Sepulangnya dari Belanda, surat kabar pimpinannya, yaitu Kaum Muda telah dibredel oleh pemerintah Hindia Belanda.
Namun demikian, surat kabar tersebut berdiri lagi dengan nama Neratja, yang masih mempertahankan Abdul Muis sebagai pimpinan surat kabar tersebut.
Dalam perjalanan selanjutnya, Abdul Muis diangkat menjadi anggota Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat) yang dibuka pada 18 Mei 1918.
Sebagai seorang wartawan, Abdul Muis menulis berita di berbagai surat kabar.
Selain itu Abdul Muis juga menulis dalam bidang politik.
Sarekat Islam: Perjuangan Politik dan Pemogokan
Abdul Muis merupakan tokoh Sarekat Islam dengan pimpinan Haji Oemar Said (H.O.S) Tjokroaminoto.
Pada akhir dekade kedua abad ke-20, Sarekat Islam terbagi menjadi dua kubu yaitu Sarekat Islam Putih dan Sarekat Islam Merah.
Sarekat Islam Putih dipimpin oleh Abdul Muis dan Agoes Salim, sedangkan Sarekat Islam Merah dipimpin oleh Semaoen dan Darsono.
Dalam tubuh Sarekat Islam, Abdul Muis menerapkan sistem disiplin partai untuk menyingkirkan orang-orang kiri.
Abdul Muis pernah dituduh terlibat dalam kasus tewasnya seorang pengawas perkebunan berkebangsaan Belanda di Tolitoli, Sulawesi Tengah, pada Juni 1919.
Abdul Muis dituduh sebagai otak pembunuhan karena dianggap telah menghasut rakyat.
Abdul Muis yang saat itu merupakan tokoh Sarekat Islam juga merupakan tokoh pemimpin dari serikat buruh.
Secara kolektif, Abdul Muis dan tokoh-tokoh serikat buruh lain berorasi menolak sistem tanam paksa.
Kendati tuduhan dan anggapan yang mengarah ke Abdul Muis tidak terbukti, Abdul Muis kemudian tetap ditangkap, dibawa ke pengadilan dengan dihukum penjara.
Pemogokan
Kendati menolak gagasan Komunisme, namun Abdul Muis masih percaya terhadap aksi mogok kerja.
Bagi Abdul Muis, perburuhan tidak selalu melekat pada golongan komunis.
Abdul Muis percaya bahwa aksi mogok diperlukan selama bertujuan untuk mendapatkan keadilan.
Setelah keluar dari penjara di Tolitoli pada tahun 1919, Abdul Muis memimpin mogok para pekerja pegadaian.
Abdul Muis merupakan Ketua Perserikatan Pegawai Pegadaian Boemiputera yang merupakan organisasi pendukung Sarekat Islam yang berpusat di Yogyakarta.
Abdul Muis sering mengadakan aksi pemogokan kaum buruh, seperti diterangkan oleh Robert van Niel bahwa Abdul Muis menggerakkan serikat buruh di Yogyakarta untuk kasus dipecatnya para buruh lokal / pribumi.
Kolektivitas pemogokan serikat buruh pegadaian pimpinan Abdul Muis merambah hingga daerah-daerah lain di Jawa seperti di Pekalongan, Kedu, Magelang, Semarang, Surabaya dan kota-kota lainnya.
Abdul Muis berupaya mengakhiri pemogokan tersebut dengan cara damai dengan meminta pemerintah Hindia Belanda untuk membentuk komite yang bertugas menampung aspirasi.
Namun demikian, permintaan Abdul Muis ditolak dan banyak buruh-buruh yang terlibat dalam aksi mogok dipecat.
Gerakan pemogokan ini lambat laun terdengar di seluruh pelosok daerah di Hindia Belanda yang kemudian berkembang menjadi isu nasional.
Pemerintah Hindia Belanda merespon aksi pemogokan ini dengan menculik tokoh-tokoh serikat buruh dan anggota Sarekat Islam.
Begitu pula juga Abdul Muis yang ditangkap di Jawa Barat pada Februari 1922, dan kemudian dipenjara.
Setelah keluar dari penjara, Abdul Muis masih melakukan aksi-aksi bersama rakyat.
Kali ini, Abdul Muis memimpin gerakan menentang sistem pajak pemerintah Hindia Belanda.
Aksi ini direspon pemerintah Hindia Belanda dengan kembali menangkap Abdul Muis dan diasingkan di Garut, Jawa Barat.
Di luar dari pengasingannya, Abdul Muis kembali melakukan aksi-aksi.
Pertentangan yang terjadi dalam tubuh Sarekat Islam mengharuskan Abdul Muis meninggalkan Jakarta dan kembali ke Sumatera Barat untuk meneruskan gerakan politiknya pada tahun 1923.
Abdul Muis kemudian memimpin harian Utusan Melaju dan Harian Perobahan.
Mengasingkan Diri
Menyadari gejolak pemogokan begitu sengit, Abdul Muis memilih untuk berkontribusi dalam dengan menulis karya-karya sastra, yang salah satunya adalah karya sastra terkenal berjudul “Salah Asuhan” yang terbit pada tahun 1928.
Pada tahun 1926 dan 1927, Abdoel Moies melakukan perlawanan dalam politik pajak tanah dan perpanjangan waktu efpacht.
Selain itu aksinya dalam gerakan adat menggemparkan pemerintah Hindia Belanda.
Setelah tahun 1945, Belanda datang dan melaksanakan agresi militer.
Dalam hal ini, Abdul Muis membentuk badan perjuangan bernama Persatuan Perjuangan Priangan, dengan tujuan turut berkontribusi dalam perjuangan kemerdekaan.
Sejak saat itu, Abdul Muis mulai tidak menonjolkan diri dalam kegiatan politik dan lebih memilih menulis novel-novel atau menerjemahkan sastra mancanegara.
Profesinya sebagai sastrawan digeluti Abdul Muis sampai meninggal dunia.
Jejak sebagai Sastrawan
Mempunyai keahlian di bidang sastra, Abdul Muis sering menulis dan membuat Novel.
Salah satu novel Abdul Muis yang berjudul ‘Salah Asuhan’ mendapat perhatian dari banyak kalangan.
Hal tersebut terjadi karena isi novel yang menceritakan persoalan citra pemuda Indonesia.
Beberapa komentar datang dari kritikus tentang Abdul Muis.
Pengalaman Abdul Muis dalam bidang penulisan telah mengangkat namanya.
Karya-karya terkenal Abdul Muis dalam penulisan adalah novel, cerita pendek, saduran, dan terjemahan.
Abdul Muis pernah menerjemahkan karya Mark Twain yang berjudul 'Tom Sawyer' yang kemudian diubah dalam Bahasa Indonesia 'Tom Sawyer Anak Amerika'.
Selain itu, Abdul Muis juga pernah menerjemahkan 'Don Kisot' karya Cervantes dalam Bahasa Indonesia.
Baca: VIDEO - Peringati Hari Pahlawan 10 November, Berikut Isi Pidato Bung Tomo Merdeka atau Mati!
Baca: PAHLAWAN NASIONAL - A.A. Maramis
Cerita anak berjudul 'Sebatang Kara' merupakan saduran dari Karya Hector Malot yang diterjemahkan oleh Abdul Muis.
Abdul Muis juga menulis novel dengan tema sejarah yaitu 'Surapati' dan 'Robert Anak Surapati'.
Salah satu cerita pendek yang dibuat Abdul Muis yang terkenal adalah berjudul 'Suara Kakaknya'
Selanjutnya, cerita pendek (cerpen) yang dibuat Abdul Muis berjudul 'Di Tepi Laut' dimuat dalam Boedaja No. 12, tahun 1948.
Kemudian, beberapa puisi karya Abdul Muis yang dimuat dalam beberapa surat kabar yaitu:
- “Ummat Hanjut di Dunia Gulita” dalam Boedaja No. 12, tahun 1948.
- “Insjaflah” dalam Boedaja No. 4, tahun 1948.
- “Kenangan” dalam Boedaja No. 12, tahun 1948.
- “Koedjoendjoeng” dalam Boedaja No. 12, tahun 1948.
- “Melati” dalam Boedaja No. 12 tahun 1948.
- “Rindoe Dendam” dalam Boedaja No. 1 tahun 1948.
Dalam perkembangan Sastra Indonesia, menurut A. Teeuw dalam Sastra Indonesia Modern Jilid II, Abdul Muis merupakan golongan pertama dari seorang sastrawan yang nasionalis
Sebagian peneliti sastra juga memasukkan Abdul Muis sebagai seorang sastrawan yang menerbitkan karya sastra dalam Penerbit Balai Pustaka.
Karya-karya Abdul Muis muncul sekitar tahun 1920an dan awal tahun 1930an.
Gelar Pahlawan Nasional
Dalam perjalanannya, Abdul Muis meninggal pada 17 Juni 1959.
Kemudian, oleh Pemerintah Republik Indonesia, Abdul Muis dijadikan Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan (SK) Presiden Republik Indonesia No. 2183/59 pada tanggal 30 Agustus 1959.
Gelar pahlawan nasional yang diberikan kepada Abdul Muis merupakan gelar pahlawan nasional pertama kali di Indonesia yang kemudian dilanjutkan menjadi kegiatan rutin kenegaraan.
Literatur:
- A . Teeuw, Sastra Indonesia Modern Jilid II, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989)
- Dendy Sugono (ed), Ensiklopedia Sastra Indonesia Modern, (Jakarta: Pusat Bahasan Departemen Pendidikan Nasional, 2003)
- Robert van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia, (Dunia Pustaka Jaya, 1984)
- Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Pustaka Utama Grafiti, Cetakan Kedua, 2005)
- Yusmar Basri, Abdul Muis: politikus, jurnalis, sastrawan, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001)
(TRIBUNNEWSWIKI.COM/Dinar Fitra Maghiszha)