TRIBUNNEWSWIKI.COM – Sebagai pentolan aktivis mahasiswa di zamannya, Soe Hok Gie memiliki kesempatan yang sangat besar untuk duduk di kursi dewan sebagai anggota DPR.
Seperti yang diketahui, Soe Hok Gie menjadi bagian penting dari mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi besar-besaran untuk menggulingkan rezim orde lama.
Saat itu, Soeharto yang berkepentingan untuk meraih kekuasaan penuh tengah berupaya menarik dukungan seefektif mungkin dari dewan legislatif.
Tidak hanya orang partai dan tentara yang dirangkul Soeharto untuk menjadi bagian dari kekuasaan, tapi juga mahasiswa.
Para mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) menjadi salah satu target utama Soeharto untuk mencari dukungan.
Baca: Soe Hok Gie
Alih-alih menerima tawaran menjadi bagian dari DPR, Soe Hok Gie justru menolak mentah-mentah peluang itu.
Dia lebih memilih menjadi seorang akademisi, menjadi pendaki gunung yang bebas dari kepentingan-kepentingan politik praktis.
Soe Hok Gie memiliki keyakinan bahwa politik itu kotor, dan mahasiswa hanya akan dijadikan alat penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya.
“Ujian pertama dari KAMI datang pada saat penawaran menjadi anggota DPR-GR. Golongan moral forces menolaknya, karena melihat racun berbungkus madu di atas kursi empuk DPR-GR. Sebaliknya golongan politisi setuju karena suara mereka diperlukan untuk voting anti Soekarno (yang makin lemah) dan menyusun UU Pemilihan Umum,” tulis Soe Hok Gie dalam artikel “Menyambut Dua Tahun KAMI: Moga-Moga KAMI Tidak Mendjadi Neo PPMI”, Kompas, 26 Oktober 1967 yang kemudian diterbitkan ulang dalam buku Soe Hok Gie: Zaman Peralihan.
Dikutip dari artikel Historia.id yang berjudul Sang Demonstran dan Politikus Berkatu Mahasiswa, pada Januari 1967, sebanyak 13 mahasiswa ditunjuk menjadi perwakilan mahasiswa di DPR-GR.
Semuanya berasal dari KAMI Pusat yang tidak lain adalah rekan-rekan seperjuangan Gie.
Benar perkiraan Soe Hok Gie, ketika sudah duduk di kursi DPR, ternyata perilaku rekan-rekannya sama saja dengan orang-orang tua yang silau akan kekuasaan.
“Akhirnya Soekarno jatuh tetapi mahasiswa yang di DPR-GR juga jatuh martabatnya di mata mahasiswa biasa,” tulis Gie.
Gie semakin muak dengan teman-temannya yang duduk di parlemen, ketika dia mengetahui teman-temannya ternyata sama saja maling.
Hal itu dia tuliskan dalam sebuah artikel yang juga ada dalam buku Zaman Peralihan dengan judul artikel Menaklukkan Gunung Slamet.
“Sebagian dari pemimpin-pemimpin KAMI adalah maling juga. Mereka korupsi, mereka berebut kursi, rebut-ribut pesan mobil dan tukang kecap pula,” tulis Gie.
Baca: Mengenang Sosok Soe Hok Gie, Aktivis yang Mati Muda di Puncak Semeru
Kemarahan Gie kepada teman-temannya yang kemudian menjadi “penghianat” tidak sampai di situ.
Historia.id menulis, Gie pernah memberikan “apresiasi” kepada para mantan kawan seperjuangannya yang perangainya cacat itu.
Bersama beberapa rekannya, Soe Hok Gie mengirimkan sebuah hadiah “Lebaran-Natal” kepada wakil-wakil mahasiswa di parlemen.
Hadiah itu dikirimkan pada 12 Desember 1969, tepat sebelum dia mendaki Semeru, tempat di mana dia menghembuskan napas terakhir.