TRIBUNNEWSWIKI.COM - Almarhum Prof Dr Ir Ing Baharuddin Jusuf (BJ) Habibie dikenal punya pergaulan luas dan bisa berteman dengan siapa saja, tanpa memandang usia dan gelar seseorang.
Beberapa profesor dan dosen di Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), memiliki kenangan tersendiri akan sosok egaliter BJ Habibie.
BJ Habibie, Presiden Ketiga Indonesia, di mata seorang wartawan senior di Makassar, M. Dahlan Abubakar, dilukiskan dalam tulisannya BJ Habibie dalam Kenangan, untuk mengenang sosok BJ Habibie, Kamis (12/9/2019).
Di bulan Mei 1991, Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) saat itu, BJ Habibie mendorong Prof Ahmad Amiruddin, mantan Rektor Unhas, hingga nyebur di Danau Unhas.
Keinginan untuk nyebur di Danau Unhas sebenarnya memang diinginkan oleh Prof Amiruddin, sebagai bagian dari nazarnya apabila pembangunan Kampus Unhas Tamalanrea telah rampung sepenuhnya.
Baca: Hormati BJ Habibie, Pemerintah Imbau Masyarakat Kibarkan Bendera Setengah Tiang Selama 3 Hari
Baca: Melayat ke Rumah BJ Habibie, Amien Rais: BJ Habibie Sosok yang Merangkul Anak Bangsa
“BJ Habibie secara sengaja mendorong dua mahaguru besar Prof Ahmad Amiruddin dan Prof Makagiansar ke Danau Unhas Tamalanrea,” demikian tulisan di Surat Kabar Kampus identitas terbitan akhir bulan Mei 1991.
Koran identitas adalah koran mahasiswa yang terbit sejak 1974 di Unhas dan termasuk satu media kampus yang masih eksis hingga saat ini.
Dahlan Abubakar termasuk satu di antara beberapa orang pendiri koran identitas.
Baca: Rumah Bapak Demokrasi BJ Habibie, Dibanjiri Karangan Bunga, dari Pejabat Negara hingga Mahasiswa
Berikut tulisan M Dahlan Abubakar untuk mengenang almarhum BJ Habibie:
Mengenang BJ Habibie
Dorong Dua Profesor Nyemplung Danau Unhas
Setiba di Indonesia tahun 1973 atas panggilan Presiden Soeharto, pada tahun 1974, Baharuddin Jusuf (BJ) Habibie terbang ke Universitas Hasanuddin Ujungpandang.
Kebetulan, seorang teman BJ Habibie yang biasa dia sapa Ahmad baru saja memimpin Unhas menggantikan Prof Dr Abd Hafid.
Yang dimaksud adalah Prof Dr Ahmad Amiruddin.
Drs Sadly AD, Sekretaris Rektor Unhas kala itu menerima dua orang laki-laki tamunya.
Seorang bertubuh pendek, mengenakan topi bundar.
Seorang lainnya, bertubuh tinggi.
Sadly mempersilakan kedua tamunya duduk di ruang tamu di depanmeja kerjanya.
Baca: Najwa Shihab Bergetar Saat Baca Puisi Perpisahan untuk BJ Habibie : Dia Tak Pergi, Dia Abadi
Baca: Dimakamkan Siang Ini, Berikut Rangkaian Prosesi Upacara Pemakaman BJ Habibie
“Ada Mas Ahmad?,” tiba-tiba saja pria yang bertubuh pendek mendekat ke meja Sekretaris Rektor dan bertanya.
Pertanyaan ini sempat membuat Sadly sejenak bingung.
“Mas Ahmad?,” tanyanya ke Pak Saldy, ya jelas dengan menyisakan tanda tanya.
“Ya, Mas Ahmad Amiruddin,” sambung pria bertubuh pendek dan masih tetap mengenakan topi bundar.
“Oh..ya..ya..Pak Rektor. Beliau sedang mengikuti Rapat Senat,” sahut Sadly.
“Oh, iya ini kartu nama saya, kasih lihat,” sang tamu itu menyerahkan selembar kartu nama.
Sadly yang menerima dan memperhatikan kartu nama itu, baru maklum siapa sebenarnya tamu yang sempat membingungkannya dengan pertanyaan “Ada Mas Ahmad” tadi.
Sadly menghilang dari ruang kerjanya, menuju Ruang Senat Unhas, 10 meter ke sebelah utara kantornya.
Baca: Mr Crack (Julukan untuk BJ Habibie)
Baca: BJ Habibie Tutup Usia, Dahlan Iskan: Beliau Saya Kenang sebagai Bapak Demokrasi Indonesia
Melihat Sadly muncul di pintu, Amiruddin yang sedang berbicara sempat sejenak mengalihkan perhatiannya ke pintu ruang senat yang terletak garus lurus dengan kursi yang ditempati Rektor Unhas.
Sadly berjalan mengitari setengah dari jejeran kursi yang berbentuk bulat telur, menuju ke kursi yang ditempati Amiruddin.
“Ini, Pak. Ada yang menunggu Bapak di luar,” bisik Sadly sembari menyodorkan selembar kartu nama.
Begitu melihat kartu nama, Pak Amiruddin langsung meminta Prof Andi Zainal Abidin Farid memimpin dan melanjutkan rapat senat.
Amiruddin meninggalkan ruang senat, diikuti Sadly di belakangnya.
Begitu bertemu, Amiruddin dan sang tamu saling berpelukan akrab lalu mengajaknya ke ruang kerja Rektor Unhas.
Di ruang kerjanya, Saldy mendengar suara orang terkekeh-kekeh dari dalam ruang kerja Rektor Unhas.
Entah apa yang diceritakan, hingga membuat ruang kerja Rektor Unhas itu tiba-tiba saja meriah.
Padahal, biasanya, kalau tidak sepi, paling terdengar seseorang yang disemprot habis, dimarahi Pak Amir, sapaannya.
Tak berapa lama, kedua tamu itu melintas di depan meja kerja Saldy, diantar Pak Amir hingga ke tempat kendaraan.
“Tadi itu, Sadly, namanya Habibie, pemilik rumah tempat saya tinggal ketika sekolah di Bandung,” ucap Amiruddin usai mengantar tamunya, yang ternyata seorang lainnya yang bertubuh tinggi adalah Junus Effendy Habibie yang akrab disapa Fanny Habibie, saudara BJ Habibie.
Baca: Kisah Cinta BJ Habibie dan Ainun, Awalnya Saling Ejek hingga Dimakamkan Bersebelahan
Baca: Sesal Sutiyoso Tak Jenguk Habibie, Malu dan Takut Ditolak Masuk RSPAD : Aku Bukan Siapa-siapa
Dorong Nyemplung ke Danau
Ketika Prof Dr Basri Hasanuddin, MA menjabat Rektor Unhas, BJ Habibie berkunjung ke Unhas.
Waktu itu masih menjabat Menteri Negara Riset dan Teknologi merangkap Kepala Badan Penenelitian dan Pengembangan Teknologi (BPPT).
Dia didampingi dua profesor.
Seorang adalah Prof Dr Makaminan Makagiansar dan seorang lainnya, temannya yang akrab dia sapa “Mas Ahmad”.
Kedatangannya ke Unhas bermaksud menunaikan hajat kedua profesor.
Kisahnya, Makagiansar yang ketika itu menjabat Dirjen Pendidikan Tinggi dan Ahmad Amiruddin yang menjabat Rektor Unhas, berjalan-jalan ke Universitas Paris III Prancis.
“Mir, kalau kamu bangun kampus baru, buat juga danau seperti ini,“ tiba-tiba saja Pak Makagiansar berkata kepada Pak Amir saat melintas di dekat sebuah danau di kampus itu.
“Nanti, kalau danaunya sudah selesai, kita sama-sama nyemplung dalam pakaian kerja,” sambung Makagiansar, tanpa menunggu respon Amiruddin.
10 tahun berlalu, kisah kunjungan melintasi sebuah danau di Universitas Paris III, harus ditunaikan.
Baca: BJ Habibie Meninggal Dunia, Ini Profil Lengkapnya: Di Jerman Jadi Direktur MBB Hamburg
Bertepatan dengan Prof Basri Hasanuddin, hajat itu pun diwujudkan.
Empat guru besar menuju Danau Unhas, tepat pada bagian di sebelah timur panggung di belakang Gedung Iptek Unhas, sudah terbangun jembatan kecil menjorok ke danau.
Makagiansar, Ahmad Amiruddin Amir, diikuti BJ Habibie dan Basri Hasanuddin melangkah di belakangnya.
Tepat di dekat ujung papan jembatan, BJ Habibie yang tetap mengenakan topi bundar seperti ketika bertamu ke Unhas tahun 1974, mendorong Makagiansar yang memeluk Amiruddin di sebelah kanannya.
Boom....keduanya nyemplung ke danau, diawasi beberapa anggota SAR Unhas yang siaga satu dengan satu unit speedboat dengan mesin dalam posisi hidup guna berjaga-jaga.
Momen ini saya abadikan selaku Kepala Humas Unhas seperti yang dimuat dalam buku 50 Tahun (1956-2006) Universitas Hasanuddin.
Melacak Tempat Mandi Kuda
Setelah dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia, 21 Mei 1998, menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri, saya yang ketika itu menjadi wartawan Harian Pedoman Rakyat berhari-hari meliput di Parepare.
Tugas saya adalah mendatangi rumah, tempat keluarga Habibie tinggal pada masa kecil.
Mewawancarai orang-orang yang pernah menyaksikan masa kecil Habibie di Parepare.
Yang tidak kalah menarik, saya juga harus melacak lokasi yang biasa dipakai Habibie memandikan kudanya di sebuah desa di dekat Palanro Kabupaten Barru.
Ada sebuah sungai di situ, yang selalu dijadikan oleh Habibie membawa kudanya jika hendak dimandikan.
Saya sudah lupa apa nama desa tersebut.
Tugas saya adalah mendeskripsikan sungai yang tentu saja sudah kian sempit dan bertanya pada orang tua-tua di situ, apakah mereka mengenal nama seorang Habibie puluhan tahun silam.
Gelar Doktor HC
Meskipun Habibie sudah meraih gelar doktor secara akademik dengan yudisium “summa cumlaude” di Jerman, namun Universitas Hasanuddin pada tahun 2006 menganugerahinya dengan gelar Doctor Honoris Causa.
Tim Promotor terdiri atas tiga orang maha guru Unhas, yakni Prof Dr Halide, Prof Dr Ir Muslimin Mustafa, M Sc, dan Prof Dr Ir Ananto Yudono, Meng, serta Prof Dr H Sangkot Marzuki dari Lembaga Eijkman Jakarta.
Ada tiga cita-cita BJ Habibie yang perlu ditularkan, yakni mengabdi kepada bangsa Indonesia dengan penuh tanggung jawab dan semangat; menguasai penggunaan materi dengan menggunakan teknologi canggih, menguasai penjualannya, menguasai purnajual, sehingga Indonesia terlepas dari ketergantungan pada bangsa lain; dan mengembangkan masyarakat teknologi dalam artian sadar akan tujuan dan manfaat teknologi dengan membentuk lapisan masyarakat ahli teknologi dan teknisi berintikan 1/1000 dari penduduk Indonesia.
Habibie pada 1996 mendeklarasikan “Benua Maritim” dalam suatu konvensi di Makassar yang mendefinisikan bahwa benua maritim adalah satu kesatuan alamiah antara darat, laut, dirgantara di atasnya yang tertata secara unik.
Kini, pria genius kelahiran Parepare 25 Juni 1936 tersebut telah tiada.
Anak keempat dari delapan bersaudara dari pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie, yang berprofesi sebagai ahli pertanian, dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo itu merupakan bapak demokrasi Indonesia,
Di kalangan pers, di bawah kepemimpinannya dengan Menteri Penerangan M.Yunus Yosfiah, membuka kran kebebasan pers yang lapang dan luang.
UU Pokok Pers No.40 Tahun 1999 merupakan produk pemerintahannya meski hanya berusia 507 hari.
Di Kota Parepare, tempat kelahirannya, sejak Rabu (11/9/2019) malam sudah berkibar bendera setengah tiang di Balai Kota Parepare.
Di kota itu, sudah ada Monumen Cinta Habibie-Ainun yang jadi objek wisata masyarakat.
Pemerintah Kota Parepare di bawah pimpinan Dr HM Taufan Pawe, SH, MH menyiapkan lokasi sebagai “Museum Habibie”, tempat masyarakat dapat menyaksikan berbagai penghargaan dan warisan mendiang Habibie.
Namun yang sangat dinanti-nantikan adalah terwujudnya Institut Teknologi Habibie (ITH) yang sebenarnya sudah memiliki Kepres pembentukannya ketika masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Selamat Jalan Bapak Demokrasi Indonesia. (MDA)