TRIBUNNEWSWIKI.COM – Hampir sepekan setelah meletusnya tragedi berdarah Gerakan 30 September (G30S), Soekarno mengumpulkan semua menterinya untuk rapat di Istana Bogor pada 6 Oktober 1965.
Dalam pertemuan itu, sekitar 40 menterinya dalam Kabinet Dwikora hadir dengan pakaian serba putih.
Pakaian itu adalah seragam para menteri di era Soekarno saat itu.
Suasana masih mencekam setelah peristiwa penculikan enam jenderal Angkatan Darat yang menggegerkan Jakarta saat itu.
Pengamanan terhadap para menteri sangat ketat.
Bahkan sebagian ada yang sampai dikawal dengan panser tentara.
Baca: Ciuman Terakhir DN Aidit di Kening sang Istri pada Malam G30S
Dikutip dari buku Tempo, “Njoto, Peniup Saksofon di Tengah Prahara”, dalam pertemuan itu hadir Menteri Panglima Angkatan Udara, Laksamana Madya Udara Omar Dhani.
Belakangan, Omar Dhani turut dipenjara karena dituduh terlibat dalam G30S.
Namun Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan Jenderal Abdul Haris Nasution tidak terlihat di antara peserta rapat.
Begitupun pucuk pimpinan Comite Central (CC) Partai Komunis Indonesia (PKI), Dipa Nusantara Aidit (DN Aidit).
Yang cukup aneh, Panglima Kostrad, Mayjen Soeharto justru hadir di tengah peserta rapat.
Njoto selaku salah satu menteri Soekarno yang juga Wakil Ketua II CC PKI juga tampak hadir.
Suasana rapat tampak tegang dan mencekam.
Satu sama lain terlihat waswas dan saling curiga.
Baca: Ketika Air Mata Bung Karno Jatuh saat Mendengar Jutaan Rakyatnya Dibunuh Setelah G30S
Baca: 20 Tahun Mengobati Luka Batin G30S, Inilah Kisah Amelia Yani, Putri Jenderal Achmad Yani
Soekarno membuka persidangan, memecah keheningan yang mencekam.
Njoto diberikan kesempatan pertama untuk menyampaikan pendapatnya.
“Saudara Njoto, kamu punya statement untuk disampaikan? Silakan,” kata Soekarno.
Njoto kemudian mengeluarkan secarik kertas yang berisi tulisan tangan.
Njoto berbicara singkat namun tegas.
Intinya, Njoto menekankan jika PKI tidak terlibat dan tidak bertanggung jawa atas meletusnya tragedi G30S.