Pengakuan Tetua Adat di Sorong
Seorang tetua adat di Sorong, Silas Kalami, menuturkan kepada ABC bahwa semua orang Papua harus bebas mengekspresikan hak-hak mereka, termasuk hak referendum kedua, seperti yang dijanjikan Belanda ketika melepaskan kendali atas Papua pada 1960-an.
Referendum pertama pada tahun 1969 umumnya dipandang penuh tipu daya, karena hanya sebagian kecil orang Papua yang diizinkan memberikan suara, "di bawah intimidasi".
"Saat itu bukan satu orang satu suara, tapi satu kepala suku mewakili seluruh warga sukunya," ujar Silas Kalami, kepala suku Malemoi di Sorong.
"Sebelum Belanda meninggalkan Papua, mereka membentuk Negara Papua. Kami memiliki bendera dan mata uang sendiri. Setelah itu, Belanda pergi dan Indonesia pun masuk."
"Orang Papua meminta hak mereka kembali," tegas Silas.
Dia menyalahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa atas nasib Papua saat ini, karena badan dunia itu tak mengizinkan semua warga Papua untuk memilih dalam referendum 1969.
"PBB harus mengoreksi sejarah karena itu adalah kesalahan mereka," katanya.
"PBB harus mengoreksi referendum 1969 yang tidak dilakukan sesuai dengan prosedur PBB sendiri. Seharusnya satu orang satu suara, tapi justru dilakukan secara kolektif dan di bawah intimidasi."
Silas mengakui memang saat ini sebagian orang Papua lebih mendukung otonomi luas daripada kemerdekaan.
PBB kemarin menyatakan keprihatinan atas kekerasan di Papua, termasuk laporan bahwa kelompok milisi pro-Indonesia terlibat dalam bentrokan dengan para demonstran.
Tapi PBB tidak berkomentar mengenai desakan digelarnya referendum baru yang disponsori PBB.
"Kami telah mendiskusikan keprihatinan kami dengan pihak berwenang Indonesia," kata Komisaris HAM PBB Michelle Bachelet.
"Seharusnya tidak boleh ada kekerasan semacam itu di Indonesia yang demokratis dan beragam," katanya.
"Saya meminta pihak berwenang untuk terlibat dalam dialog dengan rakyat Papua dan Papua Barat mengenai aspirasi dan keprihatinan mereka."
Delegasi PBB telah meminta izin Indonesia untuk mengunjungi Papua beberapa bulan mendatang, tetapi sejauh ini belum ada jadwal yang ditetapkan.
Penetapan Tersangka, Aktivis Veronica Koman dan Komentar Benny Wenda
Sebelumnya, setelah menetapkan Tri Susanti sebagai penyebar berita bohong dan Syamsul Arifin sebagai pelaku ujaran rasis kepada mahasiswa Papua di Surabaya, Polda Jawa Timur kemudian menetapkan seorang aktivis sekaligus pengacara, Veronica Koman sebagai tersangka.
Polda Jawa Timur menetapkan Veronica Koman sebagai tersangka karena dinilai telah melakukan provokasi lewat media sosial.
Dikutip dari Tribunnews.com, Rabu (4/9/2019), penetapan Veronica Koman sebagai tersangka pada Rabu siang oleh penyidik Ditreskrimsus Polda Jatim.