“Mengonsumsi makanan bergizi merupakan aspek penting dalam pola makan berkelanjutan,” katanya.
Jaqualine menyebutkan, terdapat banyak cara untuk mendapatkan asupan makanan yang bergizi tinggi. Ia mencontohkan, Kementerian Kesehatan merilis panduan makan Isi Piringku.
Panduan ini menganjurkan agar dalam satu piring terdapat 50% buah dan sayur, 50 persen karbohidrat dan protein.
“Untuk memenuhi anjuran porsi buah dan sayur, kita bisa menggunakan bahan makanan lokal yang berbeda jenis, sehingga mendapatkan nutrisi optimal dari berbagai sumber pangan. Jadi, sebaiknya tidak memilih makanan yang itu-itu saja. Keragaman isi piring kita akan mendukung biodiversitas atau keanekaragaman hayati, yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan lingkungan dan menjaga kekayaan alam,” kata Jaqualine, yang menekankan pentingnya food security bagi generasi mendatang.
Ia juga menyarankan agar kita menggabungkan protein nabati dan hewani, tetapi sebisa mungkin memperbanyak porsi protein nabati.
“Kita tidak harus menghilangkan daging sama sekali dari menu harian kita. Tidak masalah pula, jika sesekali kita mengonsumsi makanan yang diproses, misalnya sosis. Namun, kombinasikan dengan makanan yang dimasak dengan pemrosesan minimal, misalnya tumis sayuran, dalam porsi lebih banyak.”
Di Indonesia bahan makanan segar yang musiman biasanya berupa buah-buahan. Tapi, di negara lain ada yang disebut sayuran musiman. Misalnya, di Inggris pada bulan Juni sedang musim selada, daun bawang, dan bayam. Sementara itu, di Amerika Serikat pada bulan Mei yang sedang musim antara lain radish, asparagus, dan buncis. Buah atau sayur di musimnya bisa memberikan nutrisi optimal bagi Anda. Kenapa demikian?
Sebab, di musimnya, lewat proses yang alami, bahan makanan tersebut akan mampu membentuk nutrisi yang maksimal, yang dibutuhkan tubuh. Tambahan benefitnya, Anda juga membantu mengurangi sampah makanan dari produk segar yang terbuang karena tidak terjual.
Sejak beberapa tahun belakangan ini, para pencinta lingkungan ramai-ramai mendorong masyarakat untuk mengonsumsi bahan makanan berbahan dasar tanaman (plant-based food). Sehingga, kemudian orang mulai mempraktikkan urban farming, memanfaatkan lahan sempit di rumah untuk menanam sayuran. Tapi, kenapa para pegiat lingkungan menyarankan kita untuk mengurangi konsumsi daging?
Meningkatnya permintaan produk berbahan dasar hewani akan berujung pada terlalu banyaknya lahan yang digunakan untuk produksi. “Jejak karbon dari produksi bahan pangan hewani bisa mencapai 50 kali produksi bahan pangan nabati,” kata Jaqualine, menjelaskan.
Food Sustainesia mengumpulkan sejumlah data terkait konsumsi produk hewani, seperti daging dan ikan. Antara lain, saat ini terjadi penurunan stok ikan laut yang berkelanjutan. Selain itu, eksploitasi yang berlebihan terhadap satwa liar, termasuk ikan, mengancam keanekaragaman hayati.
Dalam salah satu unggahannya, Gema mengajak kita untuk lebih banyak mengonsumsi tempe daripada daging sapi. Di unggahan tersebut dijelaskan bahwa nilai protein dalam tempe setara dengan daging sapi, tapi kalori dan lemaknya lebih rendah. Ditambah lagi, tempe jauh lebih murah dan proses pembuatannya sangat hemat energi.
“Kita sebaiknya bisa segera beralih dari bahan pangan konvensional menuju bahan pangan berkelanjutan, karena akan membantu kita menuju era baru yang lebih bertanggung jawab untuk mencapai kesejahteraan bersama,” kata Gema.
Food Sustainesia adalah bisnis sosial berbasis komunitas yang berfokus pada membangun ekosistem yang akan menyajikan konten audiovisual yang lebih menyenangkan dan menarik, kampanye, dan platform pendidikan untuk para dewasa muda sebagai konsumen makanan agar membuat pilihan yang lebih baik setiap hari. www.foodsustainesia.com.
(tribunnewswiki.com/Rakli Almughni)
Baca lebih lengkap seputar berita terkait lainnya di sini