Ngadenin lalu dipaksa dengan ancaman apabila tidak menjual lahan kepada pengusaha hotel.
Lantaran tak punya kuasa, Ngadenin memilih untukĀ menyerah.
"Saya ditakut-takuti kalau enggak mau jual ke dia (pemilik hotel), nanti saya ditakut-takuti akan dikurung, ditutup (akses jalan) akhirnya saya nyerah," tutur Ngadenin.
Parahnya, harga jual yang ditawarkan pihak hotel tidak seberapa.
Ngadenin hanya bisa membeli rumah kecil yang tak jauh dari lokasi.
"Ditawar harganya sangat sangat rendah, tidak sesuai kalau buat beli rumah pengganti enggak dapet, setengah saja enggak dapat," kata dia.
Ngadenin membeli rumah yang kini aksesnya sudah ditutup.
Ketika awal membeli dan tinggal selama 10 tahun, akses jalan masih tersedia.
Namun, para pemilik lahan di sekitar rumahnya menjual ke pihak hotel.
Demikian juga tanah wakaf yang dijual.
"Saya beli di sini awalnya ada jalan, katanya sudah diwakafkan, tapi akhirnya dijual semua ke hotel sama jalannya saya enggak tahu," ucap dia.
Penutupan akses terjadi selama tiga tahun. Pihak hotel menutup jalan tanpa memberitahu Ngadenin dan keluarganya.
Selain Ngadenin, terdapat dua orang tetangganya yang bernasib sama.
Hanya saja, satu di antaranya telah menjual ke pihak hotel.
Kini, hanya tersisa rumah Ngadenin dan Peni.
Ngadenin tidak lagi menempati rumahnya lantaran kondisinya sudah tidak layak huni.
Demikian juga dengan Peni.
"Tadinya ada tiga rumah, tapi sekarang hanya sisa dua, rumah saya dan Bu Peni. Rumah Pak Marno sudah dijual," kata Ngadenin.