Kisah Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa: Dulu Pahlawan Kini Buronan

Editor: Febri Ady Prasetyo
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa

Namun, masa keemasan ini tidak berlangsung lama.

Tudingan pelanggaran HAM

Perang saudara di Sri Lanka tidak hanya membuat Mahinda populer, tetapi juga membuatnya pemerintahannya terjerat kasus pelanggaran HAM.

Menurut laporan PBB tahun 2011, pasukan pemerintah dinyatakan bertanggung jawab atas serangan terhadap warga sipil, pemerkosaan, dan upaya menghalangi penyaluran pangan dan obat-obatan.

Namun, pemerintahan Mahinda menolak tudingan di atas.

Lawan politik Mahinda sempat menuduh Mahinda memberikan persetujuan adanya kelompok Buddha sayap kanan sehingga minoritas muslim menjadi khawatir.

Selain itu, ekonomi Sri Lanka pun mulai bermasalah. Pada tahun 2015 Sri Lanka berutang kepada Tiongkok sebesar $8 miliar.

Pejabat Sri Lanka memperkirakan jumlah seluruh utang luar negeri mencapai 94 persen PDB Sri Lanka.

Baca: Berhasil Kabur ke Maladewa, Presiden Sri Lanka Disebut Akan Pergi ke Negara Lainnya

Pada tahun itu dia kalah tipis dalam pilpres oleh mantan Menteri Kesehatan.

"Sri Lanka adalah negara demokratis dan orang-orang terkejut dengan upaya kronisme sebesar itu," kata Wignaraja.

"Kombinasi [nepotisme] ini dan pengelolaan ekonomi yang salah ... rakyat kecewa telah memilih orang-orang itu."

Pada tahun 2019 militan Islam dilaporkan membunuh setidaknya 290 orang dalam serangkaian pengeboman.

Rakyat Sri Lanka kemudian kembali mengandalkan keluarga Rajapaksa yang terbukti bisa mengamankan negara itu.

Gotabaya kemudian terpilih sebagai presiden. Sama seperti Mahinda, Gotabaya memerintah Sri Lanka bagaikan menjalankan bisnis keluarga.

Namun, pemerintahan Gotabaya tidak bisa menangani masalah ekonomi.

Sri Lanka bergantung pada pinjaman luar negeri untuk mendanai layanan untuk masyarakat.

Selain itu, kondisi ekonomi diperburuk dengan adanya bencana alam.

Baca: Ekonomi Sri Lanka Disebut Telah Runtuh Sepenuhnya, Berharap Bantuan IMF

Demi menstimulasi ekonomi, Gotabaya memutuskan mengurangi pajak. Namun, itu justru mengganggu pendapatan negara.

Sri Lanka terpaksa menggunakan cadangan devisanya untuk membayar utang. Ini berdampak terhadap impor BBM dan harga pun melonjak.

Negara berpenduudk 22 juta jiwa itu dilanda krisis BMM yang amat parah.

Halaman
123


Editor: Febri Ady Prasetyo
BERITA TERKAIT

Berita Populer