Kerangkeng manusia tersebut diklaim sebagai tempat rehabilitasi untuk para pecandu narkoba.
Menanggapi hal itu, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menegaskan bahwa kerangkeng manusia di rumah pribadi Terbit itu adalah tempat ilegal alias tidak berizin.
"Yang jelas tempat itu ilegal dan itu enggak boleh," kata Ramadhan di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (25/1/2022), seperti dikutip dari Tribunnews.
Dikatakan Ramadhan, pihaknya telah melakukan penelusuran tentang kerangkeng manusia serupa penjara dengan besi dan gembok di dalam rumah Terbit itu.
Ramadhan berujar kerangkeng manusia itu telah dibuat sejak 2012 lalu dan dibuat berdasarkan inisiatif Terbit Rencana.
"Setelah ditelusuri bangunan itu telah dibuat sejak 2012 atas inisiatif Bupati Langkat dan bangunan tersebut belum terdaftar dan tidak memiliki izin sebagaimana diatur oleh UU," kata dia.
Ramadhan menyampaikan bahwa total ada 30 orang yang ditemukan di dalam kerangkeng manusia tersebut.
Sebagian dari mereka, lanjut Ramadhan, telah dipulangkan ke pihak keluarga.
"Jumlah warga binaan yang semula 48 orang, kemudian hasil pengecekan tinggal 30 orang. Sebagian sudah dipulangkan dan dijemput oleh keluarganya," ujar Ramadhan.
Baca: Fakta-fakta Kerangkeng Manusia di Rumah Bupati Langkat, Diduga Ada Perbudakan Modern
Baca: KSP Pastikan Bupati Langkat Dihukum Seberat-beratnya Terkait Dugaan Perbudakan Manusia
Diberitakan sebelumnya, Perhimpunan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat, Migrant Care, mengungkap ada kerangkeng manusia di dalam rumah pribadi Terbit Rencana.
Ketua Migrant Care Anis Hidayah mengatakan bahwa kerangkeng penjara tersebut digunakan untuk menampung para pekerja sawit di ladang milik Terbit Rencana setelah mereka bekerja.
"Ada dua sel di dalam rumah Bupati yang digunakan untuk memenjarakan sebanyak 40 orang pekerja setelah mereka bekerja," kata Anis kepada wartawan, Senin (24/1/2022), seperti dikutip dari Kompas.com.
Dikatakan Anis, jumlah pekerja di ladang sawit tersebut kemungkinan besar lebih banyak daripada yang saat ini telah dilaporkan.
Para pekerja di ladang sawit milik Terbit itu disebut-sebut bekerja sedikitnya 10 jam setiap harinya.
Baca: Terbit Rencana
Baca: Profil Terbit Rencana Perangin Angin, Bupati Langkat yang Terjaring OTT KPK, Punya Kekayaan Rp85 M
Mereka juga tidak memiliki akses untuk ke mana-mana setelah dimasukkan ke dalam kerangkeng selepas kerja.
Bahkan, para pekerja tersebut disebut juga hanya diberi makan dua kali sehari secara tidak layak dan juga tidak pernah menerima gaji.
"Mereka tentu tidak punya akses komunikasi dengan pihak luar. Mereka mengalami penyiksaan, dipukul, lebam, dan luka. Selama bekerja mereka tidak pernah menerima gaji," ungkap Anis.
Migrant Care menilai situasi itu jelas bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM), prinsip-prinsip pekerjaan layak yang berbasis HAM, dan prinsip antipenyiksaan.