Delineasi lahan, pembangunan jalan-jalan utama dan infrastruktur untuk memasuki ibu kota negara yang baru kini tengah dikerjakan.
Saat ini, pemerintah masih menunggu penyusunan undang-undang tentang ibu kota negara baru yang masih berproses di DPR serta menanti pembentukan badan otoritas pembangunan ibu kota baru.
Namun di sisi lain, Dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) yang juga berpraktik pada perusahaan arsitektur Urbane Indonesia, Achmad Tardiyana, menyentil, "Ya mau dibedakin gimana juga tetap jelek..."
Dia bahkan menyarankan Jokowi untuk mengganti "arsitek".
"Udah gak ketolong nih... lalu sayembarakan," kata Achmad.
Suara senada diutarakan arsitek dan desainer urban Reza Nurtjahja yang kerap memenangi sejumlah kompetisi arsitektur.
Baca: Inspirasi Desain Rumah Stylish dan Unik dengan Mengekspos Bata hingga Guratan Kayu
Baca: Pamungkas Minta Maaf Terkait Desain Cover Album Solipism 2.0 yang Mengambil Karya Ilustrator Prancis
Menurut Reza, yang harus menjadi concern Jokowi adalah bukan "memperkaya pra-desain", melainkan merombak kerangka acuan kerja (KAK) atau Term of References (TOR)-nya saat dilakukan sayembara terbatas.
"Sayembara umum saja, TOR-nya disiapkan dengan baik dan jadwal yang tepat. Jika hal ini diabaikan, kritik masyarakat akan semakin melebar. Mulai dari filosofi sebuah istana negara, dan lain-lain," tutur Reza.
Seharusnya, imbuh dia, penyelenggara desain, dalam hal ini Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencananan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memiliki kemampuan untuk menyiapkan segala sesuatunya.
"Mereka harus memperhatikan proses desain, regulasinya (UU Arsitek), simbolisme, monumentalisme, fasisme atau bukan, dan lain-lain, seperti rujak, pedas, tapi enak," kata Reza.
Baca artikel lain mengenai pradesain Istana Negara di sini.