Pasalnya, rencana sertifikat menjadi elektronik tersebut tetap membuka peluang oknum nakal yang berusaha mengalihkan sertifikat warga ke oknum nakal.
Seperti kisah ibu dari mantan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat, Dino Patti Djalal dapat dijadikan pembelajaran.
Dino dalam Twitter resminya mengungkap adanya komplotan mafia sertifikat rumah.
Dan, keluarganya menjadi salah satu korban para komplotan itu.
“Agar publik wasapada: Satu lagi rumah keluarga saya dijarah komplotan pencuri sertifikar rumah. Tahu-tahu, sertifikat rumah milik Ibu saya telah beraloih nama di BPN, padahal tidak ada AJB, tidak ada transaksI bahkan tidak ada pertemuan apapun dengan ibu saya,” cuit Dinno dalam postingan Twitternya.
Dino kemudian bergerak cepat mengurus masalah tersebut.
Ia lantas segera bertemu dengan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan Djalil pada Oktober 2020 untuk menyampaikan masalahnya, sekaligus melaporkan sindikat pemalsu sertifikat tanah ke polisi.
Dino Patti Djalal menyebut, modus komplotan tersebut adalah mengincar target, membuat KTP palsu, berkolusi dengan broker hitam, notaris bodong, dan pasang memasang figur-figur mirip foto di KTP yang dibayar untuk berperan sebagai pemilik KTP palsu.
"Komplotan ini sudah secara terencana menargetkan sejumlah rumah ibu saya yang sudah tua," ujat Dino.
Dalam keterangannya, Dino berkata, ia percaya 100% dengan Kepala BPN untuk memberantas oknum-oknum nakal.
Terlebih, dalam pertemuan itu, kata Dino, Kepala BPN tekankan tekad untuk untuk memberantas para sindikat tanah yang sudah merajalela.
Baca: BREAKING NEWS, Ketua FPCI Dino Patti Djalal Positif Covid-19
Praktisi Hukum dari Lembaga Advokasi Konsumen Properti Indonesia, Erwin Kallo menyebutkan, masyarakat perlu proaktif untuk memeriksa status sertifikat tanah yang dimiliki ke Kantor BPN.
"Untuk menghindari kalau kita sudah punya sertifikat, ya sertifikat fisik kita jaga. Dan kita harus selalu monitor ke BPN, apakah ada perubahan," ucap Erwin kepada Kompas.com, Rabu (10/2/2021).
Masyarakat dapat memonitor secara langsung dengan mendatangi kantor BPN secara berkala setidaknya per tiga atau enam bulan sekali.
Mereka juga bisa mengirimkan surat resmi ke BPN secara rutin untuk memberikan keterangan apabila ada yang ingin melakukan balik nama atas sertifikat yang dimiliki, maka BPN tidak bisa mengabulkannya tanpa persetujuan.
"Jadi monitor itu kan bisa lewat surat untuk pemberitahuan kepada BPN bahwa ini surat sah," ujar Erwin.
Menurut dia, cara ini perlu dilakukan lantaran sistem kepemilikan sertifikat di Indonesia masih sangat lemah.
Oleh sebab itu, masyarakat perlu menyimpan sertifikat yang dimiliki dengan aman.