Putra Mahkota juga dikenal suka ke pub dan sering berpesta, serta bernyanyi dan menari dengan teman-temannya
Baca: Raja Thailand Angkat Selirnya, Ratu Sineenat, sebagai Ratu Kedua setelah Ratu Suthida
Baca: Nasib Apes Wanita Thailand, Dituduh Menghina Keluarga Kerajaan dan Dijatuhi Hukuman 43 Tahun Penjara
Dia ingin menikahi Devyani Rana, seorang gadis yang ditemuinya di Inggris, namun tidak disetujui oleh keluarga kerajaan dengan alasan memiliki kasta yang sedikit lebih rendah.
Jika sampai nekat menikahi wanita pujaannya tersebut, maka takhta yang begitu dia idam-idamkan harus rela diserahkan kepada orang lain.
Kembali ke masalah sistem pemerintahan yang bergeser dari monarki absolut ke demokrasi, pertentangan yang hebat terjadi di dalam lingkaran dekat istana.
Sangat banyak pihak keluarga kerajaan yang menentang keputusan sang raja, termasuk putra mahkota.
"Dia percaya pada peran konstitusional untuk monarki, bukan kediktatoran. Tapi saudaranya, yang kemudian menjadi raja, dan putranya sendiri, Putra Mahkota, sama sekali tidak setuju. Mereka merasa negara akan menjadi milik anjing," papar Kunda Dixit, penerbit surat kabar Nepali Times.
Apalagi, pertentangan atara partai-partai berkuasa pun berlangsung sangat sengit hingga memicu perang saudara pada 1996.
Hingga akhirnya peristiwa tragis pun terjadi pada 1 Juni 2001.
Dipendra, sang putra mahkota, turun dari kamarnya dalam kondisi mabuk dengan mengenakan seragam tentara dan menenteng beberapa senjata.
Baca: 8 Negara Ini Terlilit Utang China, IMF dan Bank Dunia Khawatir Tak Bakal Bisa Bayar
Baca: Kejam, Gajah Dibakar Hidup-hidup karena Dekati Resor Pribadi di India, Dua Pelaku Ditangkap
Dia menembak ayahnya lebih dulu, lalu beralih ke orang lain.
Salah satunya adalah sepupu ayahnya, Ketaki Chester. Dia kemudian memberi tahu tim dokumenter British Channel Four apa yang dia lihat sebelum dia melakukan penembakan.
"Raut wajahnya sangat menakutkan," katanya.
"Aku masih mengingatnya, dan tetap saja, membuatku merinding ketika aku mengingat wajahnya. Dia tampak persis seperti Terminator 2 - benar-benar tanpa ekspresi, tapi sangat terkonsentrasi. Dan itu masih menghantuiku."
Akibat pembantaian tersebut, adik Dipendra, Gyanendra kemudian 'terpaksa' untuk naik takhta kerajaan Nepal.
Saat itu, banyak yang mencurigai Gyanendra sebagai dalang dari pembantaian keluarganya sendiri dengan tujuan besar untuk merebut takhta.
Apalagi, kala dirinya memimpin Nepal, sistem demokrasi yang dibangun oleh ayahnya dikembalikan menjadi monarki absolut.
Bahkan, demi memiliki kendali mutlak atas negaranya, Gyanendra juga membubarkan parlemen dan menghukum semua lawan politiknya.
Keputusannya tersebut kelak menjadi bumerang karena rakyat justru semakin jengan dengan kerajaan, belum lagi mereka pun masih menyimpan kecurigaan pada diri Gyanendra dalam tragedi pembantaian keluarga istana.
"Saya juga mengira Raja, Gyanendra, terlibat dalam pembantaian kerajaan, dan dia adalah perencana utama. Ada panitia investigasi, dan itu memberi laporan, menyalahkan Pangeran Dipendra saat itu. Tapi… saya masih tidak percaya Dipendra membunuh mereka," tutur pustakawan Ananta Koirala
Sang raja kemudian secara bertahap kehilangan cengkeramannya atas Nepal, dimulai dengan mengembalikan anggota parlemen pada Mei 2006.