Beda dengan Indonesia, Pemenang Pilpres AS Ditentukan oleh Electoral College, Apa Itu?

Penulis: Ahmad Nur Rosikin
Editor: Putradi Pamungkas
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ILUSTRASI Mengenal sistem Pilpres di AS- Dua kandidat capres di Pilpres Amerika Serikat, Joe Biden (Demokrat) dan Donald Trump (Republik).

Adakah capres yang kalah popular vote tapi menang pilpres?

FOTO: Presiden AS Donald Trump berpidato bersama Karen Pence (kiri), Wakil Presiden AS Mike Pence (kedua dari kiri) dan Ibu Negara AS Melania Trump (kanan), di Ruang Timur Gedung Putih di Washington, DC, 4 November 2020. (MANDEL NGAN / AFP)

Baca: Pilpres AS 2020: Apa yang Dilakukan Donald Trump dan Joe Biden di Hari Pemungutan Suara?

Ada dua dari lima pilpres terakhir yang dimenangkan oleh capres dengan suara publik lebih rendah dibandingkan lawannya.

Terbaru, pada 2016 Donald Trump kalah hampir 3 juta suara publik dari Hillary Clinton tapi berhak menduduki kursi nomor 1 di Gedung Putih karena menang mayoritas di Electoral College.

Sebelumnya pada 2000 George W Bush juga menang di Electoral College dengan 271 suara, meski Al Gore dari Partai Demokrat unggul lebih dari 500.000 suara di popular votes.

Mundur lebih jauh ke belakang, ada tiga presiden lain yang menang pilpres walau kalah di popular votes yaitu John Quincy Adams, Rutherford B Hayes, dan Benjamin Harrison. Semuanya pada abad ke-19.

Kenapa AS pakai sistem ini?

ILUSTRASI - Presiden AS Donald Trump dan calon presiden dari Partai Demokrat dan mantan Wakil Presiden AS Joe Biden bertukar argumen sebagai moderator dan pembawa berita Fox News Chris Wallace (tengah) mengangkat tangannya untuk menghentikan mereka selama debat presiden pertama di Case Western Reserve University dan Cleveland Clinic di Cleveland, Ohio, Selasa (29/9//2020) waktu setempat. (Jim WATSON / AFP)

Baca: Jika Kalah, Donald Trump Isyaratkan Bakal Tolak Hasil Pilpres: Mungkin Saya Harus Tinggalkan Amerika

Ketika konstitusi AS dibuat pada 1787, pemungutan suara secara nasional untuk memilih presiden tidak mungkin dilakukan karena saking luasnya negara dan sulitnya komunikasi.

Pada saat bersamaan, ada sejumlah dukungan bagi anggota parlemen di Washington DC untuk memilih presiden.

Para perumus undang-undang kemudian membentuk lembaga pemilihan, dan tiap negara bagian memilih para electors-nya.

Negara-negara bagian kecil mendukung sistem ini karena membuat mereka jadi punya lebih banyak suara untuk memilih presiden, ketimbang hanya mengandalkan popular votes.

Electoral College juga didukung di selatan yang mayoritas populasinya saat itu adalah budak.

Meski para budak tidak punya hak suara, mereka dihitung dalam sensus AS sebagai tiga perlima orang.

Apakah electors harus memilih capres yang menang popular vote?

Di beberapa negara bagian, elector dapat memilih capres mana pun yang mereka sukai terlepas dari siapa yang didukung para pemilih.

Namun dalam praktiknya, para electors hampir selalu memilih capres yang memenangkan suara terbanyak di negara bagian mereka.

Jika seorang elector memberikan suara yang berlawanan dengan capres yang menang di negara bagian itu, mereka disebut "tidak setia".

Pada 2016 contohnya, ada 7 suara yang begitu tapi tidak signifikan memengaruhi hasil akhir pilpres.

Bagaimana jika tidak ada kandidat yang mendapat suara mayoritas?

DPR AS yang akan memilih presiden.

Ini hanya terjadi sekali ketika pada 1824 empat capres sama kuat di electoral votes, tak ada yang mayoritas.

Akan tetapi dengan sistem dua partai yang diusung AS saat ini, kemungkinan serupa sangat kecil peluangnya untuk terulang.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengenal Electoral College, Kunci Kemenangan di Pilpres AS"

(TribunnewsWiki.com/Kompas.com/Aditya Jaya Iswara)



Penulis: Ahmad Nur Rosikin
Editor: Putradi Pamungkas
BERITA TERKAIT

Berita Populer