Tanggal 30 September yang sudah berpuluh-puluh tahun diperingati sebagai G30S/PKI atau G30S seakan membelah masyarakat Indonesia menjadi dua.
Setiap tahun, perdebatan tentang sejarah G30S/PKI atau G30S selalu terjadi di ruang politik, akademik hingga ke akar rumput masyarakat.
Ada yang memperingatinya sebagai hari dimana peristiwa Partai Komunis Indonesia (PKI) hendak melakukan coup d'etat (kudeta) serta membunuh banyak jenderal militer RI dan juga ada sebagian masyarakat yang menganggap hingar-bingar G30S/PKI atau G30S sebagai tipu daya Orde Baru semata.
Salah satu yang menjadi kontroversi setiap akhir bulan September adalah pemutaran film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI atau film G30S/PKI.
Film itu, meski oleh sebagian masyarakat disebut merepresentasikan kebengisan PKI di masa lalu, sebagian lain menganggap film garapan Arifin C Noer itu berlebihan dan mengada-ada.
Sri Margana, salah seorang pakar sejarah dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menilai bahwa film G30S/PKI tersebut cacat fakta.
Salah satunya terkait dengan adegan penyiksaan para jenderal sebelum dimasukkan ke Lubang Buaya.
Hal itu dianggap tidak benar dan hanya rekayasa serta dramatisasi yang dibuat oleh sutradara film.
Baca: G30S, G30S/PKI, Gestok atau Gestapu, Mana Istilah yang Paling Tepat Penggunaannya?
"Film ini terbukti cacat fakta yang sudah diakui oleh sutradaranya sendiri."
"Misalnya soal penyiksaan para jenderal sebelum dimasukkan di Lubang Buaya itu terbukti dari arsip-arsip visum tidak ada, hanya dramatisasi," ungkapnya dalam keterangan tertulis Humas UGM, Rabu (30/9/2020).
Menurut Sri, menjadikan peristiwa kelam yang terjadi pada 1965 sebagai pelajaran sejarah dianggap baik.
Dengan begitu, masyarakat bisa menjadikannya sebagai referensi agar tragedi tersebut tidak kembali terulang.
Hanya saja, ia meminta agar jangan sampai propaganda yang dilakukan saat ini justru dapat mewariskan dendam masa lalu pada generasi selanjutnya.
Pasalnya, konflik saat itu sebenarnya terjadi akibat dari adanya gesekan antarkelompok politik.
"Yang mengerikan itu hendak diwariskan pada semuanya yang tidak berkaitan dengan masalah itu."
"Jadi jangan wariskan dendam," ujarnya.
Baca: Sejarah G30S 1965: Penculikan Jenderal A H Nasution dan Tertembaknya Ade Irma
Meski film tersebut tidak obyektif, Sri menilai masyarakat saat ini sudah cerdas dan bisa menyaring mana yang benar dan salah.
Terlebih lagi, sudah banyak fakta baru terkait peristiwa yang terjadi pada 30 September 1965 tersebut.
"Masyarakat saat ini sudah cerdas. Sudah banyak beredar fakta-fakta baru terkait peristiwa G30S/PKI sehingga orang bisa membuat penilaian mana yang benar dan tidak di film itu," ujarnya.