Kamp tersebut menjadi bagian dari langkah deradikalisasi dan perlawanan terhadap terorisme.
Surat terbuka itu ditandatangani berbagai kelompok, termasuk Proyek Hak Asasi Manusia Uighur yang bermarkas di Amerika Serikat (AS) dan Genocide Watch.
Baca: AS Berikan Sanksi kepada XPCC, Organisasi Paramiliter di China, terkait Etnis Uighur
Mereka meminta Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melakukan penyelidikan.
"Kejahatan, termasuk penahanan secara sewenang-wenang sebanyak 1 sampai 1,8 juta orang di kamp penahanan, progam indoktrinasi politik besar-besaran, penghilangan paksa, penghancuran situs budaya, kerja paksa, angka penahanan di penjara yang tidak proporsional, kampanye dan kebijakan kontrasepsi paksa," demikian bunyi pernyataan dalam surat itu dikutip dari Reuters.
Menurut hukum internasional, kejahatan terhadap kemanusiaan dinyatakan sebagai kejahatan yang sistematis dan meluas.
Sementara itu, bukti adanya genosida, atau keinginan untuk menghilangkan sebagai dari penduduk, lebih susah dibuktikan.
Namun, menurut mereka, tindakan kontrasepsi paksa sudah masuk tindakan genosida.
"Tindakan-tindakan ini sudah memenuhi ambang undang-undang genosida, pokok kejahatan internasional menurut Konvensi Genosida, yang melarang 'tindakan pemaksaan dengan maksud mencegah kelahiran' di kelompok etnis atau keagamaan.
Baca: Terapkan Kerja Paksa Terhadap Muslim Uighur, 11 Perusahaan China Masuk Daftar Hitam Amerika Serikat
Kepala hak asasi manusia PBB, Michelle Bachelet, pada Senin (14/9/2020), mengatakan dia sedang dalam pembicaraan dengan pihak berwenang China agar bisa mengunjungi Xinjiang, tempat para Muslim Uighur berada.
Namun, para aktivis mengaku kecewa dengan pidatonya di Dewan Hak Asasi Manusia.
Di dewan itu, kata mereka, China tidak pernah menjadi objek resolusi.
"Ucapan Bachelet mengenai China tidak menjelaskan apa pun, tidak ada kabar mengenai kerugiaan kemanusiaan dari pelanggaran hak asasi yang dilakukan China, termasuk terhadap Uighur dan di Hong Kong, tidak juga keprihatinan yang sedang berlangsung mengenai kebebasan berekspresi, penahanan sewenang-wenang, dan tindakan keras terhadap warga sipil," kata Sarah Brooks dari International Service for Human Rights kepada Reuters.
"Malahan, ucapan itu berbicara banyak mengenai posisi biro hak asasi manusia yang lemah terhadap China," kata dia.