Tujuannya adalah "menghabisi korban jiwa sebanyak mungkin", dilansir New Zealand Herald, Senin (24/8/2020).
Brenton mengumpulkan informasi tentang masjid di Selandia Baru seperti mempelajari denah lantai, lokasi, dan info detail lainnnya.
Ia juga mencari tahu tanggal-tanggal sibuknya masjid beroperasi.
Beberapa bulan sebelum serangan tersebut, ia melakukan perjalanan ke Christchurch.
Saat itu, ia menerbangkan sebuah drone di atas target utamanya, masjid Al Noor.
Lebih jauh lagi, dalam pernyataan Jaksa, pelaku juga berencana menargetkan Masjid Ashburton, selain Al Noor dan Linwood Islamic Center.
Pada hari penyerangan, tak hanya para jamaah di dalam masjid, Tarrant turut menembak orang-orang di jalan ketika mereka berusaha melarikan diri.
Termasuk satu di antara korban, Ansi Alibava yang tewas ketika mencoba lari ke luar masjid.
Saat Brenton berkendara menuju Linwood Islamic Centre, dia berhenti dan menembaki orang-orang keturunan Afrika yang berhasil menghindar.
Ia juga sempat mengacungkan pucuk senjatanya kepada seorang pria Kaukasia, tetapi hanya "senyum dan kemudian pergi".
Kepada polisi, Tarrant mengaku berencana membakar masjid setelah aksinya penembakan.
Hukuman seumur hidup siap menanti Tarrant.
Dengan minimal 17 tahun hukuman, Hakim Cameron Mandor -hakim yang memimpin sidang ini- punya kuasa untuk menjatuhi vonis seumur hidup tanpa ada pembebasan bersyarat.
Ini adalah sebuah hukuman yang belum pernah dijatuhkan di Selandia Baru.
Di persidangan, Tarrant dihadapkan dengan para korban selamat dan keluarga korban yang meninggal.
Seorang ibu, yang putranya meninggal dalam insiden tersebut terlihat marah kepada Tarrant.
"Kau menjadikan dirimu punya hak untuk mencabut 51 nyawa orang tak bersalah, yang di matamu lihat 'menjadi Muslim' adalah kejahatan mereka," kata Maysoon Salama, ibu dari Atta Elayyan yang terbunuh.