Banyak yang memberikan uang.
Jadi yatim membuat Junizar menjadi orang yang diutamakan.
"Itu pikiran kecil saya yang nggak tahu apa-apa," katanya.
Junizar berontak. Ia memangkas pendek rambutnya. Mirip laki-laki.
Gejolak dalam hati membuat ia sangat ingin mendapat perhatian laki-laki.
Hal yang membuat nilai sekolahnya jatuh drastis.
Jika saat SD ia selalu mendapatkan peringkat 1, kini rangking nya turun ke angka 12.
Semua gejolak itu kemudian ia catat dalam buku.
Menjadi perempuan tomboi membuat ia menjatuhkan pilihan melanjutkan SMK jurusan elektronika.
Usia yang membuat ia mulai menerima keadaan.
"Saya mulai ikhlas. Ini takdir, mau diulang nggak akan mungkin," kata Junizar.
Menganggur setahun, Junizar memilih melanjutkan kuliah di Jurusan Psikologi UIN ar-Raniry.
Tentu kuliah sambil bekerja. Ia harus menghidupi dirinya di Banda Aceh.
Namun apa nyana, hanya bertahan empat semester ia memilih mundur.
Pulang kampung merawat ibunya yang sakit.
Kini ia berjualan kentang goreng di kampung halamannya di Lembah Seulawah.
Kepada anak korban konflik lainnya, Junizar berpesan untuk semangat dan melanjutkan pendidikan ke jenjang tertinggi.
Jangan meniru dirinya yang memilih mundur.
"Saya tidak menyesal tapi menyayangkan. Ini pilihan hidup saya."
Kata Junizar, sukses bukan dihitung dari materi.