Jepang Sukses Redam Covid-19, Meski Enggan Patuhi Semua Saran WHO dan Tidak Lakukan Lockdown

Penulis: Haris Chaebar
Editor: Melia Istighfaroh
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi suasana di Jepang - Orang-orang yang mengenakan masker wajah sebagai tindakan pencegahan terhadap coronavirus COVID-19 di jalan distrik perbelanjaan Ameya-Yokocho, yang terletak di sebelah Stasiun Ueno, di Tokyo pada 11 April 2020. Gubernur Tokyo Yuriko Koike mengatakan pada 10 April bahwa pemerintah metropolitan akan meminta banyak bisnis, termasuk klub malam, ruang karaoke, dan ruang pinball pachinko untuk menangguhkan operasi mulai 11 April karena keadaan darurat terkait epidemi coronavirus.

Meski semenjak lima bulan kasus Covi-19 pertama dilaporkan di sini, Jepang memiliki kurang dari 20.000 kasus yang dikonfirmasi dan kurang dari 1.000 kematian.

Saat ini, status darurat telah dicabut dan kehidupan dengan cepat kembali normal.

Baca: Jepang Awasi Aktivitas Membahayakan yang Dilakukan China di Laut Perbatasan India-Hong Kong

Baca: AS Berencana Tempatkan Rudal Jarak Menengah di Jepang, China: Kami Tak Akan Tinggal Diam

Selain tak melakukan hal-hal ekstrem seperti negara lain, beberapa peneliti di Jepang mengemukakan bahawa negaranya benar-benar telah merasakan penyebaran penyakit yang semacam Covid-19 ini sejak lama.

Raksasa telekomunikasi Softbank, melakukan pengujian antibodi pada 40.000 karyawan, yang menunjukkan bahwa hanya 0,24% yang terpapar virus.

Testing acak terhadap 8.000 orang di Tokyo dan dua prefektur lainnya telah menunjukkan tingkat paparan yang lebih rendah.

Di Tokyo, hanya 0,1% yang kembali positif Covid-19.

Ketika mengumumkan pencabutan keadaan darurat akhir bulan lalu, Perdana Menteri Shinzo Abe berbicara dengan bangga tentang "Model Jepang", mengisyaratkan bahwa negara-negara lain harus belajar dari Jepang.

Apakah manusia Jepang istimewa?

Wakil Perdana Menteri Taro Aso, mengatakan bahwa melawan Covid-19 tergantung pada "kualitas unggul" orang Jepang.

Dalam pernyataan yang kontroversial itu, Aso mengatakan dia telah diminta oleh para pemimpin negara lain untuk mengabarkan kesuksesan Jepang.

"Saya memberi tahu bahwa antara negara Anda dan negara kami, mindo (tingkat orang) berbeda."

Jika diterjemahkan secara literal, mindo berarti "tingkat kualitas manusia", meskipun secara maknwai bisa berarti dengan "tingkat kebudayaan".

Ini adalah konsep yang berasal dari era kekaisaran Jepang dan menunjukkan rasa superioritas rasial. Sehingga Aso dikecam karena hal ini.

Orang-orang membentuk antrean panjang untuk membeli kebutuhan di supermarket dalam persiapan untuk Typhoon Hagibis yang kuat yang akan datang, di Kanagawa, Yokohama, selatan Tokyo, pada 11 Oktober 2019. Tabung gas untuk kompor masak portabel dan air minum terjual habis setelah waktu buka . (Mainichi / Hiroshi Maruyama) (Mainichi / Hiroshi Maruyama)

Tetapi tidak ada keraguan bahwa banyak orang Jepang, dan beberapa ilmuwan, berpikir ada sesuatu tentang orang Jepang yang berbeda, yang bahkan disebut "Faktor X" sehingga melindungi penduduk dari Covid-19.

Misalnya adat Jepang tentang enggan berpelukan cium pipi ketika bertemu bisa cepat bertransformasi dalam dimensi "physical distancing", salah satu cara dalam mencegah Covid-19.

Profesor Universitas Tokyo, Tatsuhiko Kodama, yang mempelajari bagaimana pasien Jepang bereaksi terhadap virus percaya bahwa Jepang mungkin pernah menderita Covid sebelumnya.

Bukan Covid-19, tetapi sesuatu patogen atau virus serupa yang bisa meninggalkan kekebalan secara historis.

Ketika virus memasuki tubuh manusia, sistem kekebalan menghasilkan antibodi untuk menyerang patogen yang menyerang.

Ada dua jenis antibodi, yakni IGM dan IGG.

Cara mereka merespons dapat menunjukkan apakah seseorang pernah terkena virus sebelumnya, atau yang serupa.

Halaman
1234


Penulis: Haris Chaebar
Editor: Melia Istighfaroh
BERITA TERKAIT

Berita Populer