Polisi dipanggil ke Wendy's atas laporan bahwa Brooks tertidur di garis drive-thru. Petugas berusaha untuk membawanya ke tahanan setelah ia gagal melakukan tes keamanan lapangan, menurut Biro Investigasi Georgia.
Video yang direkam menunjukkan Brooks yang tengah bergumul dengan dua petugas di tanah di luar gerai Wendy'S sebelum bisa membebaskan diri dan berlari melintasi lapangan parkir dengan apa yang tampak sebagai TASER polisi di tangannya.
Rekaman video kedua dari kamera restoran menunjukkan Brooks berputar saat ia berlari dan mungkin mengarahkan taser atau senjata kejut listrik ke petugas yang mengejar sebelum salah seorang dari mereka menembakkan senjatanya dan Brooks jatuh ke tanah.
Brooks berlari sepanjang sekitar enam mobil ketika dia berbalik ke arah seorang perwira dan menunjuk apa yang ada di tangannya di polisi, kata Vic Reynolds, Direktur GBI pada konferensi pers terpisah.
"Pada saat itu, petugas Atlanta meraih ke bawah dan mengambil senjatanya dari sarungnya, melepaskannya, memukul Mr. Brooks di sana di tempat parkir dan dia turun," kata Reynolds.
Pengacara yang mewakili keluarga Brooks mengatakan kepada wartawan bahwa polisi Atlanta tidak memiliki hak untuk menggunakan kekuatan mematikan bahkan jika ia telah menembakkan Taser, senjata yang tidak mematikan, ke arah mereka.
"Anda tidak bisa menembak seseorang kecuali mereka menodongkan pistol ke Anda," kata pengacara Chris Stewart.
Jaksa Wilayah Kabupaten Fulton, Paul Howard, Jr., mengatakan dalam sebuah pernyataan, mereka telah meluncurkan penyelidikan yang kuat dan independen atas insiden tersebut sembari menunggu hasil temuan dari Biro Investigasi Georgia.
Bottoms mengatakan, Shields, seorang wanita kulit putih yang ditunjuk sebagai kepala polisi pada Desember 2016, akan digantikan oleh wakil kepala Rodney Bryant, seorang pria kulit hitam yang akan melayani sebagai kepala sementara.
Selain demonstrasi dan ricuh dibanyak wilayah Amerika Serikat, apa yang terjadi di negeri Paman Sam itu jg membuat situasi Presiden Amerika Serikat (AS) semakin pelik.
Pada Rabu (3/6/2020), Menteri Pertahanan AS, Mark Esper justru menentang apa yang dititahkan atasannya, Donald Trump.
Mark Esper menentang penerapan hukum yang jarang digunakan seperti mengerahkan militer untuk mengatasi protes nasional atas kebrutalan polisi terhadap warga Afrika-Amerika.
Padahal dua hari sebelumnya Presiden Amerika Serikat Donald Trump berkata bahwa dia bisa memanggil tentara untuk meredam protes masa.
"Saya tidak mendukung penerapan Undang-undang pemberontakan," ujar Esper sebagaimana dilansir AFP,
"Saya selalu percaya dan akan terus percaya bahwa Garda Nasional sudah sangat tepat dalam bekerja di ranah domestik sebagai otoritas sipil di situasi seperti ini," tambahnya.
Dia juga mengatakan, keterlibatan militer adalah pilihan paling akhir dan hanya dalam situasi sangat mendesak.
Baca: Demonstrasi Amerika Serikat Meluas, Donald Trump Justru Tuding Kelompok ANTIFA Sebagai Biang Keladi
Baca: Spotify Turut Mendukung Komunitas Kulit Hitam untuk Lawan Rasisme di Amerika Serikat
Baca: Adidas dan Nike Bersatu untuk Melawan Rasisme di Amerika Serikat
"Opsi pengaktifan tugas (militer) hanya boleh digunakan sebagai pilihan terakhir dan hanya dalam situasi yang mendesak dan mengerikan," ujarnya kepada wartawan di Pentagon.
"Kita tidak sedang berada di situasi itu saat ini."