Di sisi lain, Beijing bisa dengan mudah menemukan negara lain yang bisa menggantikan produk pertanian AS tersebut.
"Skala perdagangan tertentu bisa berhenti," kata sumber tersebut.
Perseteruan antara Amerika Serikat (AS) dan China tak hanya berdampak terhadap hubungan bilateral dua negara.
Banyak negara dan bahkan lembaga internasional seperti organisasi kesehatan (WHO) ikut terseret dalam hubungan buruk antara Washington dan Beijing.
Salah satu negara yang terdampak adalah Hong Kong.
Wilayah dengan status negara kota atau otonomi khusus itu memperoleh dampak signifikan, setelah Amerika Serikat mencabut status istimewa Hong Kong.
Selain itu, Hong Kong menghadapi kemungkinan penguatan pengaruh Beijing di wilayah tersebut.
Setelah disetujui oleh Kongres Rakyat Nasional China (NPC), Undang-undang Keamanan Nasional untuk Hong Kong akan mulai berlaku pada awal tahun depan.
Langkah ini dinilai telah membuat semakin banyak orang memilih untuk meninggalkan wilayah bekas jajahan Inggris itu.
Meskipun telah menikmati status otonomi sejak serah terima tahun 1997, kota yang menjadi rumah bagi sekitar 7,5 juta orang ini melihat adanya kemunduran dalam menikmati kebebasan dan demokrasi pada beberapa tahun terakhir.
Baca: Potret Beratnya Hidup di Hong Kong, Warga Hidup di Apartemen Kumuh, Dapur dan Toilet Jadi Satu Area
Melansir berita DW via laman Kontan dengan judul Masa Depan Suram, Warga Hong Kong Pertimbangkan Emigrasi, anggota gerakan protes pendukung demokrasi Hong Kong khawatir undang-undang baru itu akan semakin mengukuhkan cengkeraman Beijing. Banyak warga kota yang selama ini menjadi pusat keuangan Asia pun khawatir akan masa depan bagi mereka dan keluarga.
Pada kuartal kedua tahun 2019 saja telah tercatat sedikitnya 50.000 orang beremigrasi.
Sementara di bulan Desember 2019, terdapat 20.000 orang melamar untuk mendapatkan semacam surat keterangan kelakuan baik ke kepolisian Hong Kong.
Surat ini adalah dokumen wajib bagi siapa pun yang ingin beremigrasi. Ini adalah peningkatan sebesar 60 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Josephine, jurnalis berusia 30 tahun yang lahir di Hong Kong, mengatakan kepada DW bahwa dia telah ikut serta dalam protes melawan pemerintah dan RUU ekstradisi yang akhirnya dibatalkan tahun lalu.
Josephine mengatakan berniat untuk tinggal di Hong Kong meski cengkeraman Beijing semakin ketat. Namun, ia segera berubah pikiran setelah NPC meloloskan Undang-undang Keamanan Nasional untuk Hong Kong.
“Saya tidak pernah percaya bahwa suatu hari penduduk Hong Kong akan menjadi pengungsi,” katanya.
“Saya ingin bermigrasi.”