Namun Sudirman menolak. Ia menulis perintah harian untuk disiarkan lewat radio. Intinya, ia menginstruksikan supaya semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda.
Siang itu juga, Sudirman meninggalkan Yogyakarta untuk memimpin perang gerilya. Tujuannya ke Kediri, Jawa Timur.
Dalam keadaan sakit, beberapa kali ia harus ditandu oleh prajuritnya. Beberapa kali ia juga jatuh pingsan karena persediaan obat telah habis.
Namun sampai Kediri, ternyata situasi di sana sudah tidak aman. Sudirman kembali bergerilya ke Jawa tengah, menempuh jalan mengelilingi Gunung WIlis.
Sudirman akhirnya menetap di Desa Solo daerah Surakarta pada April 1949. Komunikasi dengan para pemimpin gerilya pun kembali dapat dilakukan.
Akibat gerilya yang dipimpin Jenderal Sudirman, Belanda menjadi kewalahan karena terjadi serangan di mana-mana. Posisi Belanda mulai tertekan, terutama setelah serangan 1 Maret 1949 di Yogyakarta yang dipimpin Letnan Kolonel Soeharto.
Karena terdesak, Belanda akhirnya bersedia berunding. Tanggal 7 Mei 1949 Roem – Royen Statement ditandatangani. Ibukota Yogyakarta kembali diserahkan ke Indonesia.
Setelah dibujuk cukup lama, Sudirman akhirnya bersedia kembali ke Yogyakarta. Ia dibutuhkan dalam perundingan militer bersama Belanda meski awalnya menolak karena merasa pasukanny masih mampu mengalahkan pasukan Belanda.
Namun sampai Yogyakarta, paru-parunya yang sebelah telah terserang lagi dan membuatnya harus dirawat di rumah sakit.
Pada 1 Agustus 1949, ia sempat menulis surat untuk Presiden Sukarno yang berisi pengunduran dirinya dari jabatannya sebagao Panglima Besar dan dari dinas ketentaraan. Namun surat itu tidak jadi disampaikan setelah mempertimbangkan akibatnya.
Saat upacara kedaulatan yang secara resmi mengakhiri perang kemerdekaan berlangsung pada 27 Desember 1949, Sudirman yang telah memberikan andil sangat banyak harus beristirahat di Magelang, Jawa Tengah.
Selama perjuangannya, Jenderal Sudirman menggunakan strategi perang gerilya.
Dengan strategi ini, Jenderal Sudirman dan pasukannya bergerak secara sembunyi-sembunyi di hutan.
Kemudian, ketika memiliki kesempatan mereka akan menyerang Belanda secara tiba-tiba.
Selain itu, taktik perang gerilya juga berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
Dengan demikian, Jenderal Sudirman bisa memecah konsentrasi tentara Belanda.
Kesehatannya semakin memburuk. Pada 29 januari pukul 18.30, diusianya yang masih 34 tahun, Sudirman menghembuskan napas terakhir.
Jenazahnya dimakamkan keesokan harinya di Makam Taman Pahlawan Kusumanegara, Yogyakarta, di samping makam Urip Sumohardjo.
Namanya diabadikan sebagai pahlawan nasional melalui Keputusan Presiden RI No. 314 tahun 1964 tanggal 10 Desember 1964.
Sebagian artikel ini telah tayang terlebih dulu di TribunnewsWiki.com dengan judul "17 AGUSTUS - Serial Pahlawan Nasional: Jenderal Soedirman."