Syekh Puji Dikabarkan Nikahi Anak Berusia 7 Tahun, Psikolog: Penyalahgunaan Kewenangan Orang Dewasa

Penulis: Maghita Primastya Handayani
Editor: Ekarista Rahmawati Putri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi kekerasan pada anak

TRIBUNNEWSWIKI.COM - Nama sang Pemilik Ponpes Miftahul Jannah, Syekh Puji kembali muncul ke publik.

Syekh Puji dikabarkan telah dilaporkan oleh Komnas Perlindungan Anak (KPA) Provinsi Jawa Tengah atas tindakan kejahatan kekerasan seksual.

Laporan tersebut diserahkan pada Polda Jawa Tengah dengan korban berinisial D (7), warga Grabag, Magelang.

Tak tanggung, Syekh Puji diinformasikan telah menikah siri dengan D pada Juli 2016 lalu.

Sebelumnya, Syekh Puji sempat menjadi kontroversial pada 2008 lalu.

Yaitu ketika dirinya menikah dengan LU, yang pada saat tersebut masih berusia 12 tahun.

Dua kali namanya disebut dengan kasus serupa, pemilik nama Pujiono Cahyo Widiyanto (54) pun menjadi sorotan publik.

Baca: Tahun Ini Ekonomi Malaysia Diperkirakan Bakal Anjlok ke Level Terendah Akibat Sebaran Virus Corona

Baca: Cara Membuat Dalgona Coffee, Kopi Viral di Korea Selatan Saat Social Distancing Pandemi Corona

Tanggapan psikolog terhadap kasus Syekh Puji

Syekh Puji (Kompas.com)

Psikolog Anak dari Pion Clinician, Astrid WEN, memberikan tanggapannya terkait kasus pernikahan dini yang dilakukan oleh Syekh Puji.

Seperti yang dikutip dari Kompas.com, Astrid
mengatakan harusnya kejadian tersebut ini bisa dihindari.

Tak hanya itu dirinya juga mengatakan kejadian ini seharusnya bisa dijadikan pelajaran.

Terutama agar masyarakat lebih memperhatikan hak dan kondisi lingkungan yang baik untuk anak-anak.

"Harusnya ini kejadian yang bisa dihindarkan. Kita sebagai masyarakat perlu mendukung hak anak, yaitu hak lingkungan aman dan nyaman untuk mereka ," kata Astrid saat dihubungi Kompas.com, Jumat (3/4/2020).

Anak usia 7 tahun, lanjut Astrid, membutuhkan lingkungan yang nyaman dan aman.

Sehingga mereka memiliki tempat untuk tumbuh dan berkembang secara optimal.

Dituturkan Astrid, kejadian yang berulang kembali ini tidak hanya persoalan antara korban dan pelaku.
Melainkan juga faktor dukungan atau support dari lingkungannya.

Astrid menerangkan bahwa anak berusia 7 tahun masih berpikir secara konkret dan tidak dapat berpikir secara abstrak.

Anak-anak pada usia itu masih senang untuk mengeksplor berbagai hal dalam kesehariannya, belajar, bermain, mencoba berinteraksi dengan kelompok dan mengenal teman-temannya.

Astrid juga menegaskan, di usia yang masih belia tersebut alat reproduksi anak juga belum berkembang secara optimal.

"Anak 7 tahun itu belum tahu mau apa. Bahkan konsep keluarga, peran-peran anggota keluar itu masih jauh (dari pola pikirnya). Jadi kalau ini terjadi pasti ada yang mendukung hal tersebut," ujar dia.

Halaman
12


Penulis: Maghita Primastya Handayani
Editor: Ekarista Rahmawati Putri
BERITA TERKAIT

Berita Populer