Hari Ini 18 Tahun yang Lalu, Pesawat Garuda Mendarat di Bengawan Solo, Mesin Mati, Terjang Badai Es

Penulis: Putradi Pamungkas
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mesin pesawat B737-300 Garuda Indonesia yang terendam di anak sungai Bengawan Solo dalam insiden GA421 pada 2002 lalu

Namun saat meninggalkan ketinggian jelajah untuk turun ke bandara Adisutjipto, di atas wilayah Rembang, kapten penerbangan memutuskan untuk sedikit menyimpang dari rute seharusnya, berdasarkan izin ATC.

Hal itu dilakukan karena di depan terdapat awan yang mengandung hujan dan petir.

Kru pesawat mencoba untuk terbang di antara dua sel awan badai.

Baca: Garuda Indonesia

Sekitar 90 detik setelah memasuki awan yang berisi hujan, saat pesawat turun ke ketinggian 18.000 kaki dengan kondisi mesin dalam posisi idle, kedua mesin tiba-tiba mati dan kehilangan daya dorong (thrust).

Pilot dan kopilot pun saat itu mencoba untuk menghidupkan unit daya cadangan (auxiliary power unit/APU) untuk membantu menyalakan mesin utama, tetapi tidak berhasil.

Penyelidikan yang dilakukan menyebut bahwa kru kokpit mencoba menyalakan mesin dengan interval setiap satu menit.

Manual B737 yang dikeluarkan Boeing menyebut APU mesti dinyalakan dalam interval 3 menit sekali.

Ketika pesawat sampai di ketinggian 8.000 kaki, dan kedua mesin belum berhasil di-restart, pilot melihat alur anak sungai Bengawan Solo dan memutuskan untuk melakukan pendaratan di sana.

Pesawat pun melakukan ditching tanpa mengeluarkan roda pendaratan maupun flaps (menjulurkan sayap).

Ilustrasi pesawat Garuda Indonesia (Garuda Indonesia)

Saran untuk industri mesin pesawat

Penyelidikan yang dilakukan oleh KNKT menyimpulkan bahwa pelatihan yang diberikan maskapai Garuda Indonesia kepada pilot-pilotnya dalam hal interpretasi radar cuaca tidak sebagaimana mestinya dilakukan, hanya diberikan secara tidak formal.

Jika kru mengubah sudut radar cuaca pesawat ke bawah sebelum meninggalkan ketinggian jelajah, maka kemungkinan mereka akan melihat jalur awan di depan dengan lebih baik.

Dari rekaman suara kokpit dan melihat kerusakan di hidung dan mesin pesawat, disimpulkan awan badai yang ditembus GA421 kala itu bukan hanya berisi hujan saja, melainkan juga butiran-butiran es.

Laporan menyebut air dan es tersebut memiliki kepadatan yang tidak bisa ditoleransi lagi oleh mesin saat kondisi idle, sehingga tidak bisa dinyalakan ulang.

Berdasar temuan tersebut, maka diterbitkan rekomendasi kepada pabrikan mesin pesawat.

Mereka diminta untuk membuat prosedur bagaimana meningkatkan kemampuan mesin saat menghadapi situasi hujan badai dan es.

Yakni dengan meningkatkan RPM minimum menjadi 45 persen dan melarang penggunaan autothrust dalam kondisi presipitasi tinggi.

Selain itu, KNKT juga memberikan rekomendasi untuk memperbaiki metode pelatihan awak pesawat dalam membaca citra radar cuaca.

Pabrikan radar cuaca harus meningkatkan sistem radar cuacanya agar bisa lebih baik mengidentifikasi awan, serta perbaikan dalam prosedur pemeliharaan baterai pesawat untuk maskapai.

Laporan lengkap hasil investigasi KNK tentang GA421 bisa diunduh di tautan berikut ini.

(Tribunnewswiki.com/Putradi Pamungkas, Kompas.com)



Penulis: Putradi Pamungkas
BERITA TERKAIT

Berita Populer