Kemenangan kandidat petahana Tsai Ing-wen ini dalam Hong Kong Free Press, (12/1/2020) menjadi teguran keras bagi China yang sedang gencar dalam kampanye untuk menguasai Taiwan, sebuah pulau dengan pemerintahan sendiri.
Tsai Ing-en, politisi Partai Progresif Demokratik (PPD) sempat menyatakan diri sebagai pembela nilai-nilai demokrasi.
Gagasan ini ia buat untuk menentang ideologi otokrasi yang digagas oleh China.
Kemenangan besar yang diraih Tsai pada Sabtu (11/1) mendapat perhatian dari sejumlah media-media mainstream China yang menyoroti dan memberitakan dengan diksi-diksi seperti, 'bernafsu', 'serakah', 'egois' dan 'jahat'.
Media mainstream China kerap meragukan kemenangan dan mengerdilkan legitimasi kampanye yang digalakkan Tsai.
"Ini jelas bukanlah pemlihan umum yang normal," tulis kantor berita resmi Xinhua dalam editorial berbahasa Inggris yang dikutip Hong Kong Free Press, Minggu (12/1/2020).
Tsai dan partainya, Partai Progresif Demokratik (DPP) disebut Xinhua menggunakan 'taktik kotor seperti penipuan, penindasan, dan intimidasi untuk memperoleh suara, yang jelas memperlihatkan sifat bernafsu, serakah, dan jahat"
Lebih jauh lagi, Xinhua juga menuduh Tsai 'membeli suara', yang tertulis dalam halaman opini editorial.
Dalam tulisan berbahasa Mandarin tersebut juga menyebut terdapat 'kekuatan gelap dari luar' yang mempengaruhi hasil pemilu.
Sebelumnya, China pernah bersumpah untuk mengambil alih Taiwan -dengan kekerasan jika perlu- melalui pernyataan Presiden China, Xi Jinping.
Sikap otoriter ini dinilai sebagai bentuk kebencian terhadap Tsai lantaran menolak mengakui gagasan bahwa Taiwan adalah bagian dari China.
Baca: Tsai Ing-wen Terpilih Kembali Jadi Presiden Taiwan, Tamparan Keras untuk China?
Respons China dalam Media Mainstream
Di lain tempat, China melalui juru bicara Kementerian Luar Negeri, Geng Shuang menekankan bahwa negara tirai bambu ini akan semakin memperkuat 'prinsip China-satu', suatu prinsip yang mengakui Taiwan sebagai bagian dari China.
Saat menyampaikan pidatonya pada Minggu (12/1/2020), Gen Shuang menegaskan bahwa "terlepas dari apa yang terjadi di Taiwan, kebenaran dasar tidak akan berubah; hanya ada satu China di dunia dan Taiwan adalah bagian dari China".
"Posisi pemerintah China tidak akan berubah," tambah Gen Shuang dalam sebuah pernyataan.
Kantor berita China juga menuduh kebijakan Tsai -yang kerap menyebut protes Hong Kong bisa terjadi jika Beijing kendalikan Taiwan- ini dengan sebutan 'menakutkan'.
Tsai dan partainya dapat 'memainkan ketegangan' tulis Global Times, kantor berita nasional China, Sabtu, (11/1).
Pada akhir tahun 2019, pemimpin Taiwan digambarkan "ceroboh menghasut orang-orang sambil memfitnah hubungan Han Kuo-yu (oposisi Tsai) dengan China" tambahnya dengan merujuk lawan utama Tsai dari Partai Kuomintang sebagai kandidat yang ramah dengan otoritas China.
Lebih jauh lagi, media pemerintah China juga menampik hasil pemilihan umum Taiwan sebagai anomali dalam hubungan China-Taiwan di masa depan.