"Pers tidak perlu diatur-atur.
Pasal 18 UU Pers ada ancaman pidana, bahwa orang yang menghalang-halangi kerja jurnalistik terancam pidana dua tahun, pidana kurungan satu tahun atau denda Rp 15 juta," kata Stanley dalam diskusi "Siaga Kebebasan Berekspresi Pasca-Pembahasan R- KUHP: Mengekang Hak Asasi Manusia, Mengancam Demokrasi Seutuhnya" di Jakarta, Rabu (1/3/2017).
Menurut Stanley, seluruh pasal terkait pers yang terdapat di dalam Revisi KUHP tidak perlu ada.
Stanley menambahkan, meski sanksi diatur di dalam UU Pers, namun semangat pembentukan UU tersebut bukan untuk menghukum insan pers apabila melakukan kesalahan.
Pada dasarnya, fungsi dan tugas pers yaitu menjalankan kewajiban negara dalam rangka memenuhi hak atas informasi bagi warga negara.
"Kebebasan informasi, menyediakan informasi dasar di mana warga negara kemudian bisa mengambil keputusan-keputusan penting untuk kehidupan dirinya sendiri," ucap Stanley.
"Nah itulah kemudian kita tahu juga bahwa wartawan di dalam bekerja dilindungi oleh hukum, dan tidak boleh dipidanakan," ujarnya.
Dewan Pers, kata dia, sejauh ini telah menandatangani nota kesepahaman dengan Polri, terkait penghormatan terhadap UU Pers dan penegakan hukum terhadap penyalahgunaan profesi wartawan.
Sehingga, apabila ada pihak yang mengaku wartawan, namun dalam praktiknya tidak memenuhi kode etik jurnalistik, atau bahkan menyalahgunakan profesi wartawan, maka dapat diancam dengan pidana ke depannya.
"Pers punya jalan tol untuk itu.
Dewan Pers bisa langsung memberikan rekomendasi kepada polisi.
Ini agar tidak ada lagi media abal-abal seperti Obor Rakyat, bentuknya seperti tabloid, dikelola seperti media tapi tidak memenuhi kaidah jurnalistik," kata dia.
Komisioner Komnas HAM, Roichawatul Aswidah mengatakan, sulit untuk membuktikan korban nyata dalam penyebaran paham atau ideologi tertentu, termasuk komunisme/Marxisme-Leninisme.
Hal itu membuat Roichawatul mempertanyakan masuknya tindak pidana terhadap penyebaran ideologi dalam draf rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (HUKP) yang sedang digodok oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.
"Negara demokratis dari hari ke hari mereka mengurangi rumusan-rumusan yang korban nyatanya tidak ada," ujar Roichawatul dalam sebuah diskusi di kawasan Cikini, Jakarta, Senin (22/8/2016).
"Karena rumusan pidana itu untuk melindungi hak asasi manusia warganya tentu korbannya harus riil.
Kalau korbannya tidak riil, itu harus dipertanyakan," kata dia.
Delik pidana terhadap ideologi tercantum dalam pasal 219-221. Pasal 219 dan 220 menyangkut penyebaran ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme.
Sedangkan dalam pasal 221, menyangkut peniadaan dan penggantian ideologi Pancasila.