Kabut Asap Kepung Riau, Greenpeace Indonesia: Ini Merupakan Bentuk Kegagalan Pemerintah

Penulis: Nur Afitria Cika Handayani
Editor: Ekarista Rahmawati Putri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kabut asap karhutla sangat pekat di jalan lintas Riau-Sumatera Barat di perbatasan Pekanbaru dengan Kabupaten Kampar, Riau, Kamis (12/9/2019).

TRIBUNNEWSWIKI.COM - Kabut asap di wilayah Pulau Sumatera dan Kalimantan semakin meluas diakibatkan dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Kabut semakin menyebar ke wilayah perbatasan Kalimantan Barat dan Serawak, Malaysia pada Kamis (12/9/2019).

Dikutip dari Kompas.com, Jumat (13/9/2019) kabut asap pekat kembali mengepung kota Pekanbaru, Riau.

Hingga artikel ini ditulis jarak pandang semakin menurun dan udara sudah tidak sehat hingga berbahaya.

Pemprov Riau menganjurkan masyarakat untuk tidak beraktivitas di luar rumah atau gedung.

Hal tersebut ditanggapi oleh juru kampanye hutan Indonesia, Greenpeace Indonesia, Rusmadya Mahardduin.

Rusmadya menilai imbauan dari Pemerintah Provinsi Riau tidak efektif untuk mengatasi dampak kabut asap.

"Meski masyarakat diminta untuk diam di dalam ruangan atau rumah, kabut masih bisa terhirup apalagi jika rumah atau ruangan tempat mereka tinggal tidak dilengkapi penyaring udara yang bagus," kata Rusmadya, dikutip dari Kompas.com.

Menurutnya, cara efektif untuk menghentikan semakin luasnya kabut asap ini adalah dengan melakukan penegakan hukum.

"Kejadian kebakaran hutan dan lahan ini sudah terjadi berulang, hampir setiap tahun. Hanya kuantitasnya saja yang berbeda-beda," tandasnya.

Rusmadya juga mengatakan bahwa kejadian ini merupakan bentuk kegagalan dari pemerintah.

Baca: Riau Kabut Asap, Pemerintah Buat 4 Acuan untuk Atasi Dampak Buruk dari Kebakaran Tersebut

Baca: Singapura Keluhkan Kualitas Udara Terancam Akibat Kabut Asap Kebakaran Hutan di Indonesia

"Ini merupakan bentuk kegagalan pemerintah, terutama dalam melakukan pengawasan dan penegakan hukum terkait kasus kebakaran hutan dan lahan," ujar Rusmadya.

Menurutnya, penegakan hukum yang transparan, konsisten dan serius untuk mengatasi kasus karhutla ini karena akan menimbulkan efek jera bagi para pelaku.

"Kebakaran ini yang menyebabkan adalah manusia itu sendiri. Dan ini kaitannya dengan perilaku. Jadi, untuk mengatasi perilaku yang merugikan ini caranya dengan penegakan hukum," ungkap Rusmadya.

Rusmadya menilai upaya pemerintah dalam mengatasi dampak kebakaran hutan ini dirasa kurang maksimal karena tidak pernah menemui titik akhir.

"Pada akhirnya, yah, masih mengharapkan hujan turun agar bisa menghentikan karhutla. Buktinya, ya itu, dilakukan shalat istisqa untuk meminta hujan," tambahnya.

Selain itu ia menilai aparat negara seperti TNI dan polisi yang ikut serta memadamkan kebakaran perlu diapresiasi.

Baca: Asap Kebakaran Hutan Tutupi Jalanan di Kalimantan Selatan, Setiap Hari Titik Api Bermunculan

"Kita apresiasi kontribusi aparat yang ikut membantu dalam mengatasi kebakaran ini. Tapi sesungguhnya, kapasitas mereka bukan untuk hal ini. Bisa jadi mereka tidak dibekali kemampuan dan peralatan yang standar untuk menghentikan kebakaran," jelas Rusmadya.

Sejumlah warga mengeluhkan sesak napas akibat kabut asap yang semakin pekat.

Berdasarkan data yang diterima Kompas.com dari Dinas Kesehatan Riau per 1-11 September 2019, jumlah warga terserang ISPA sebanyak 9.931 orang.

Halaman
12


Penulis: Nur Afitria Cika Handayani
Editor: Ekarista Rahmawati Putri
BERITA TERKAIT

Berita Populer