TRIBUNNEWSWIKI.COM - Kesehatan jiwa adalah isu kesehatan yang belum terselesaikan di tengah-tengah masyarakat, baik di tingkat global maupun nasional.
Masalah kesehatan jiwa di Indonesia sendiri berkaitan dengan tingginya prevalensi orang dengan gangguan jiwa.
Saat ini Indonesia memiliki prevalensi orang dengan gangguan jiwa sekitar 1 dari 5 penduduk, artinya sekitar 20 persen populasi di Indonesia itu mempunyai potensi-potensi masalah gangguan jiwa.
Berdasarkan data WHO tahun 2017 diperkirakan jumlah penderita gangguan jiwa di dunia sekitar 450 juta jiwa, termasuk skizofrenia. Laporan WHO tahun 2001 bertajuk ”Mental Health: New Understanding, New Hope” menjelaskan bahwa Skizofrenia menyebabkan tingkat disabilitas yang tinggi.
Dalam studi di 14 negara mengenai disabilitias yang terkait dengan kondisi fisik dan mental, psikosis aktif menduduki peringkat ketiga kondisi yang paling melumpuhkan, lebih tinggi dari paraplegia dan kebutaan.
Dalam studi beban penyakit global atau Global Burden of Disease (GBD) yang dipublikasikan pada tahun 2019, DALY (Disability-Adjusted Life Year) skizofrenia Indonesia pada tahun 2019 adalah sebesar 0,69 persen dari total DALY dan 2,09 persen dari total YLD (years lived with disability).
Skizofrenia adalah gangguan kejiwaan kronis yang diperkirakan menyerang lebih dari 21 juta orang di seluruh dunia; hal ini terkait dengan beban penyakit yang parah dan hasil psikososial yang buruk.
Meskipun banyak pengobatan telah tersedia untuk penanganannya, gangguan ini masih menimbulkan tantangan besar bagi penyedia layanan kesehatan, perawat, dan sistem layanan kesehatan.
Salah satu pembicara utama dalam seminar ilmiah tersebut, dr. Lahargo Kembaren, Sp.KJ., menyoroti bahwa tantangan utama dalam skizofrenia adalah ketidakpatuhan terhadap pengobatan, terutama pada pasien yang memakai antipsikotik oral setiap hari, yang dilaporkan terjadi pada sekitar 59 persen pasien, sehingga keterlibatan dini dalam diskusi tentang terapi yang tepat sangatlah penting.
Dalam paparannya, beliau menambahkan bahwa banyak pasien skizofrenia kesulitan dalam mematuhi pengobatan antipsikotik yang memerlukan asupan oral setiap hari, sementara pasien yang diberi resep antipsikotik suntik jangka panjang (LAI / long-acting injectable) secara signifikan memiliki tingkat kepatuhan yang lebih baik.
Skizofrenia dan depresi adalah penyakit mental yang berdampak buruk dan berkontribusi besar terhadap beban penyakit global.
Tinjauan literatur menunjukkan bahwa depresi meningkat pada skizofrenia.
Tidak hanya membahas tentang skizofrenia, seminar ilmiah ini juga membahas tentang depresi. Di seminar yang sama, dr. Siti Dwinanti Amanda, Sp.KJ dalam paparannya menyampaikan bahwa prevalensi depresi berdasarkan Riskesdas tahun 2018 adalah 6.1 persen dari jumlah penduduk Indonesian (usia >15 tahun), dan ternyata hanya 9 persen pasien yang melakukan pengobatan ke dokter psikiatri. Padahal apabila kasus depresi tidak diterapi dengan baik, maka akan berpotensi berujung pada keinginan untuk bunuh diri.
Selama lebih dari 60 tahun, Johnson & Johnson telah berdedikasi untuk meningkatkan hasil bagi mereka yang menderita penyakit mental.
Selama setengah abad terakhir, Janssen Pharmaceutical Companies milik Johnson & Johnson telah menemukan, mengembangkan dan meluncurkan banyak pengobatan inovatif untuk kondisi yang berdampak pada otak dan sistem saraf pusat. 10
Memperkuat komitmennya, Johnson & Johnson Indonesia menyelenggarakan seminar ilmiah pada tanggal 27 Agustus 2023, bekerja sama dengan Indonesian Early Career Psychiatrist (IndoECP) yang merupakan organisasi bagi para psikiater muda dan psikiater yang baru saja menyelesaikan pendidikannya sebagai psikiater di Indonesia.
Seminar ilmiah yang bertemakan Understanding the Barriers in Managing Psychiatric Disorders bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan tentang skizofrenia dan depresi di kalangan psikiatri muda, khususnya untuk pengobatan yang inovatif.
Sri Handayani Kusumastuti, Commercial Lead, Johnson & Johnson Pharmaceutical Indonesia mengatakan, “Kami menyadari bahwa upaya edukasi kepada masyarakat dan terutama tenaga professional merupakan langkah penting yang dapat membantu menghilangkan stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan gangguan jiwa, serta pemenuhan hak asasi manusia kepada orang dengan gangguan jiwa. Sebagai sebuah perusahaan, kami berkomitmen untuk meningkatkan kehidupan masyarakat dan keluarga yang menderita penyakit mental. Salah satu upayanya adalah dengan menyediakan pengobatan yang efektif dan mendukung para tenaga medis profesional.”
“Dengan memungkinkan akses layanan kesehatan, edukasi dan pengobatan inovatif, bersama-sama kita dapat membuka jalan menuju dunia yang lebih aman, sehat dan membantu orang dengan gangguan mental mendapatkan perawatan yang layak dan hidup yang lebih produktif.” lanjut Sri Handayani.
Sebagai bagian dari perusahaan perawatan kesehatan terbesar di dunia, Johnson & Johnson berkomitmen untuk mendukung masyarakat melalui program yang membina lingkungan yang terus belajar bagi para tenaga medis profesional, dalam menyediakan perawatan kesehatan bagi para pasien.
(TRIBUNNEWSWIKI.COM/PUTRADI PAMUNGKAS)