TRIBUNNEWSWIKI.COM - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akhirnya mengakui perubahan nama negara Turki atau Turkey dalam bahasa Inggris menjadi Turkiye, Kamis (3/6/2022).
Menurut Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu, perubahan itu akan meningkatkan brand value negara itu.
"Alasan utama Turki mengubah namanya adalah menghilangkan kemiripan dengan kalkun [turkey]," kata Sinan Ulgen, Kepala EDAM, sebuah lembaga riset di Istanbul, dikutip dari CNN Internasional.
"Namun, istilah itu juga digunakan dalam bahasa sehari-hari untuk menyebut kegagalan."
Menurut Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, nama baru ini bisa menunjukkan "kebudayaan, peradaban, dan nilai-nilai bangsa Turki dengan cara yang terbaik".
Organisasi internasional kini diwajibkan menggunakan nama Turkiye untuk menyebut negara tersebut.
Kendati demikian, perubahan penyebutan nama negara itu tidak bisa terjadi secara cepat di dalam masyarakat dunia.
"Kemungkinan butuh bertahun-tahun bagi masyarakat internasional untuk berganti dari Turkey menjadi Turkiye."
Baca: Terbukti Ampuh di Ukraina, Drone Bayraktar TB2 Buatan Turki Laris Manis Dipesan
Baca: Presiden Turki Erdogan Belum Rela Swedia & Finlandia Jadi Anggota NATO
Ini bukan pertama kalinya Turki berusaha mengubah namanya.
Pada tahun 1980-an, Turki di bawah Perdana Menteri Turgut Ozal sempat mencoba mengubah nama.
Sayangnya, upaya itu kurang mendapat dukungan luas.
Menurut Francesco Siccardi, manajer propgram di lembaga riset Cargenie Europe, perubahan nama itu merupakan strategi yang dilakukan oleh pemerintah Turki agar bisa mendulang banyak suara dari kaum nasionalis saat pemilihan umum.
Kata dia, perubahan tersebut sangat penting dalam kaitannya pemilu tahun depan.
"Keputusan perubahan nama diumumkan Desember tahun lalu, ketika Presiden Erdogan tertinggal dalam jajak pendapat dan negara itu mengalami krisis ekonomi terburuk dalam 20 tahun terakhir."
Berbeda dengan Siccardi, Ulgen mengatakan perubahan nama itu lebih kepada strategi rebranding atau penjenamaan untuk menguatkan posisi negara itu dalam dunia internasional.
Baca: Presiden Turki Erdogan Tolak Swedia dan Finlandia Jadi Anggota NATO
Baca: Muncul Tak Terduga, Roman Abramovich Hadiri Perundingan Ukraina-Rusia di Turki
Turki memang sedang dilanda krisis ekonomi. Inflasi tahunan bahkan dilaporkan melonjak hingga 73 persen pada bulan lalu.
Pakar mengatakan ketika terjadi krisis, pemimpin Turki cenderung mengeluarkan kebijakan populis untuk mengalihkan perhatian warga Turki dari masalah yang mendera negara itu.
"Nama baru ini akan mengalihkan warga negara dari masalah yang lebih nyata dan mendesak, dan memberi Presiden Erdogan argumen lain dalam kasusnya demi mencapai Turki yang lebih kuat dan tradisional," kata Siccardi.
Pada tahun 2020 silam Erdogan juga mengeluarkan kebijakan populis, yakni mengubah Hagia Sofia menjadi masjid.
"Ketiadaan kebijakan yang nyata untuk menangani masalah ekonomi dan politik membuat Erdoga mencari penyelamatan dalam bentuk politik identitas yang populer," kata pakar politik Seren Korkmaz.
"Dia meningkatkan nasionalisme Turki dan islamisme dan menargetkan tokoh oposisi."
(Tribunnewswiki)
Baca berita lainnya tentang Turki di sini