TRIBUNNEWSWIKI.COM - Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, mengatakan penamaan vaksin Nusantara yang dipelopori mantan Menkes Terawan Agus Putranto tidak pas.
"Bahwa label Nusantara hanya namanya saja," kata Dicky saat dihubungi, Kamis (15/4/2021).
Selain itu, Dicky mengatakan pemanfaatan vaksin Nusantara juga tidak bisa pada populasi yang besar.
Dia menyebut label Nusantara menampilkan kesan bahwa vaksin Covid-19 merupakan strategi dari pemerintah untuk menangani pandemi.
Menurutnya, asal-usul vaksin ini harus jelas, apakah dari pemerintah atau swasta.
"Jika swasta harus jelas sesuai prosedurnya, karena pemerintah mendukung riset yang mengarah pada manfaat kesehatan masyarakat," katanya.
Menurutnya, dalam dunia ilmiah, kajian sains harus ditaati.
Baca: BPOM: Vaksin Nusantara Sebaiknya Diuji Coba Dulu pada Hewan
Jika tidak, selain membahayakan manusia, citra baik suatu negara di mata dunia juga terancam buruk.
"Kaidah sains level nasional saja diabaikan apalagi di level global.Ini masalah besar, bahwa riset itu menyangkut nyawa hajat hidup orang banyak."
"Jadi standar pada level global luar biasa tinggi. Indonesia juga memiliki standar yang tinggi dan diakui dunia selama ini."
"BPOM sebagai lembaga yang memiliki integritas dan kapabilitas dalam hal menilai riset saja diabaikan, berarti orang pelaku atau peneliti tidak memahami kaidah ilmiah."
"Artinya ini sangat berbahaya," katanya.
Pengembangan vaksin ini tetap melaju meski mengabaikan rekomendasi dari BPOM.
Sejumlah anggota DPR pun menjadi relawan uji klinis.
Baca: Keamanan Belum Teruji, Mantan Menkes Siti Fadilah Supari Jadi Relawan Uji Klinis Vaksin Nusantara
Dicky berharap peneliti tidak mengorbankan kepentingan masyarakat demi kepentingan segelintir orang.
"Itu harus untuk kepentingan publik, kepentingan kesehatan masyarakat, dan bukan untuk kepentingan segelintir orang."
"Saya termasuk yang paling menentang yang begini, apalagi ada unsur asing di balik ini yang kita enggak tahu nanti untuk siapa manfaat ini," papar Dicky.
Dicky mengingatkan bahwa suatu riset ilmiah harus berbasis data saintifik yang melalui berbagai tahapan seperti uji fase I, II, dan lainnya.
Dengan demikian, riset ilmiah harus benar-benar tanpa kepentingan apa pun, apalagi politik.
"Satu riset sudah dibawa ke arah politik dukung-mendukung itu sudah bukan riset ilmiah lagi."