Dugaan Korupsi di BPJS Ketenagakerjaan, Ditaksir Capai Rp 43 Triliun, Setara Gaji 10 Juta Pekerja

KSPI menyebut dugaan korupsi di tubuh BPJS Ketenagakerjaan sebagai giga korupsi, tujuh kali lipat korupsi Bank Century


zoom-inlihat foto
ilustrasi-badan-penyelenggara-jaminan-sosial-ketenagakerjaan-bpjs-ketenagakerjaan.jpg
KONTAN/Fransiskus Simbolon
ILUSTRASI Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan).


TRIBUNNEWSWIKI.COM - Update isu korupsi di tubuh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS TK/BP Jamsostek).

Kini Kejaksaan Agung (Kejagung) telah memeriksa sejumlah orang terkait dugaan korupsi ini.

Semua pihak diperiksa untuk mencari fakta hukum dan mengumpulkan alat bukti adanya indikasi tindak pidana korupsi.

Jumlah uang yang dikorupsi ditaksir memiliki nilai fantastis.

Disebut-sebut, uang itu mampu membayar gaji 10 juta pekerja sesuai UMP.

Karenanya, kasus ini disebut giga korupsi, bukan lagi mega korupsi.

KSPI Angkat Bicara

Logo BPJS Ketenagakerjaan
Logo BPJS Ketenagakerjaan (bpjsketenagakerjaan.go.id)

Baca: Korupsi Massal Kasus Tanah di Labuan Bajo, 17 Orang Jadi Tersangka, dari Bupati Hingga WNA Italia

Baca: Kejaksaan Agung Selidiki Korupsi BPJS Ketenagakerjaan, Periksa 20 Saksi dan Sita Dokumen

Terkait dugaan ini, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Provinsi Jawa Tengah angkat bicara.

Diberitakan TribunJateng, Sekjen KSPI Jateng, Aulia Hakim, menuturkan dana buruh atau pekerja saat ini sedang dipertaruhkan apabila BPJS Ketenagakerjaan terbukti melakukan dugaan tindak pidana korupsi.

"Isu ini membuat masyarakat khusus pekerja bereaksi keras.

Kami mengutuk keras adanya dugaan praktik korupsi di lingkungan BPJS Ketenagakerjaan," kata Aulia dalam pernyataan tertulis kepada Tribun Jateng, Rabu (27/1/2021).

Taksiran Jumlah

Ia mengatakan dugaan tindak pidana korupsi tersebut ditaksir merugikan negara sebanyak Rp 43 triliun.

Menurutnya, jumlah ini sangat besar.

Bahkan melebihi skandal mega korupsi bailout Bank Century dengan nilai kerugian negara Rp 6,7 triliun. Kemudian korupsi Jiwasraya Rp 16,8 triliun.

"Kalau dikonversi ke gaji pekerja dengan standar UMP ibukota akan mampu menggaji 10 juta orang pekerja."

"Ini tujuh kali lipat korupsi Bank Century, di BPJS Ketenagakerjaan bisa masuk kategori giga korupsi, bukan mega korupsi lagi," ujarnya.

Baca: Demi 100 Wanita Simpanan, Pejabat China Korupsi dan Timbun Uang 3 Ton, Kini Terancam Hukuman Mati

Harapkan Penanganan Transparan

Untuk itu, KSPI Jawa Tengah berharap kasus ini ditangani dengan transparan serta mengedepankan hukum yang berkeadilan.

Jangan sampai dana masa depan milik rakyat yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan lenyap tanpa pertanggungjawaban.

Menurutnya, KSPI jateng akan konsen mengikuti kasus ini.

Apabila kasus ini terbukti dan diganjar dengan hukuman ringan, buruh pekerja akan siap melawan.

"Karena menurut kami tanpa sanksi yang menjerakan, mustahil negeri ini bisa bebas korupsi.

Wabah covid tak mampu membuat bangsa ini ambruk, namun jika membiarkan wabah korupsi menggerogoti bangsa ini, maka keruntuhan negeri ini akan jadi keniscayaan," katanya.

Pihaknya mendukung penuh langkah yang diambil Kejagung dalam penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi ini.

Ia juga meminta proses pemeriksaan dilakukan secara transparan.

"Kami akan terus mengawal kasus ini sampai selesai. Triliunan uang buruh diduga dikorupsi BPJS Ketenagakerjaan," tandas Aulia yang juga Ketua Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Jateng ini.

Kejagung mulai melakukan penyidikan terhadap kasus dugaan korupsi di BPJS Ketenagakerjaan. Pemeriksaan saksi telah dimulai sejak Selasa (19/1/2021).

Jaksa penyidik juga telah menggeledah kantor pusat BPJS Ketenagakerjaan di Jakarta Selatan, pada Senin (18/1/2021), dan menyita sejumlah data dan dokumen.

Baca: Inilah Buronan Korupsi Pertama yang Ditangkap di Tahun 2021, Rugikan Negara hingga Rp 22,45 M

Beda dengan Jiwasraya

Ketua advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyebut, dugaan perkara tindak korupsi pada pengeloaan dana BPJS Ketenagakerjaan berbeda dengan kasus Jiwasraya dan Asabri.

Sebab, tidak ada saham milik Benny Tjokro pada investasi lembaga publik tersebut.

Walau pada Mei 2016 lalu, Benny sempat memohon kepada BPJS Ketenagakerjaan untuk membeli saham Hanson International berdasarkan dokumen yang ia peroleh.

"Seluruh lembaga punya uang seperti Jiwasraya, Asabri dan BPJS Ketenagakerjaan diminta untuk membeli saham Benny. Jiwasraya dan Asabri membeli tapi BPJS menolak," kata Timboel, kepada Kontan.co.id, Jumat (22/1).

Dengan begitu, menyamakan kasus Jiwasraya dengan BPJS sebagai sesuatu yang tidak tepat.

Ia juga mempertanyakan, apakah Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menemukan fakta kecurangan.

Bukan justru menyasar unrealized loss (kerugian tidak nyata) investasi saham ketika pasar modal goyang akibat Covid-19.

"Misalnya, pada 2020 beli saham pada harga Rp 10 ribu. Karena harga saham turun, saham dari yang nilainya Rp 100 ribu menjadi Rp 85 ribu. Itu belum tentu rugi, saham akan rugi ketika dijual," lanjutnya.

Apalagi portofolio saham lembaga ini relatif baik karena mayoritas ditempatkan pada saham LQ45.

Baca: Andi Arief Minta KPK Klarifikasi soal Laporan Tempo terkait Gibran dan Sritex dalam Korupsi Bansos

Walau ada sebagain bukan LQ45 tapi punya kapitalisasi saham baik seperti Waskita Karya, Krakatau Steel, Wijaya Karya dan Astra Agro Lestari.

Tidak hanya ia, ia juga menilai manajemen cendrung berhati - hati dalam mengelolaan dana masyarakat.

Bahkan, hal ini sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Ditambah lagi dengan POJK Nomor 1/POJK.05/2016 Tentang Investasi Surat Berharga Negara Bagi Lembaga Keuangan Non-Bank.

Maka itu persoalan tindak pindana harus diperjelas oleh penyidik. Ia khawatir kejaksaan hanya melihat dari sisi unrealize loss atau kerugian yang belum terealisasi. Padahal itu sebagai dampak penurunan indeks harga saham gabungan (IHSG).

"Kita menghormati apa yang dilakukan penyidik kejaksaan. Tapi harus menanyakan ke orang - orang pasar modal juga, apakah unrealized loss sebagai pindana. Selama ini kejaksaan tidak pernah cerita ke publik, yang ingin disasar dalam kasus ini seperti apa," terangnya.

Selain itu, ia juga menanggapi pernyataan kejaksaan bahwa baik Jiwasraya dan BPJS dikelola oleh manajer investasi (MI) yang sama.

Menurutnya, MI mengelola investasi perusahaan manapun sebagai sesuatu yang sah karena tugas mereka adalah mengelola dana.

Sebalik, Pengamat Asuransi Irvan Rahardjo menduga ada kemiripan kasus Jiwasraya dengan BPJS Ketenagakerjaan.

Kemiripan dari sisi penempatan investasi berisiko tinggi dan kurangnya kehati - hatian dalam pengelolaan dana.

"Dugaan saya, sama - sama main saham berisiko tinggi baik trading langsung maupun melalui manajer investasi," ungkapnya.

Atas hal itu, ia menyarankan agar menempatkan investasi yang aman dan disesuaikan dengan profil risiko.

Melalui analisa risiko baik, melalui investasi ke saham - saham unggulan, rating obligasi minimal A, mitra MI masuk jajaran 10 besar, sekuritas tanpa pengalam gagal bayar serta investasi ke bank buku III dan IV.

"Untuk transaksinya sendiri jangan lewat skema derivatif atau repo tetapi transaksi di pasar reguler," pungkasnya.

Artikel ini telah tayang di Tribunjateng.com dengan judul Dugaan Korupsi di BPJS Ketenagakerjaan, KSPI Jateng Sebut Giga Korupsi: Kami Kawal, Ada Uang Buruh dan Kontan dengan judul BPJS Watch Sebut Kasus BPJS Ketenagakerjaan Beda dengan Jiwasraya

(TribunnewsWiki.com/Nur) (TribunJateng/mam, Kontan)





BERITATERKAIT
Ikuti kami di
KOMENTAR

ARTIKEL TERKINI

Artikel POPULER

© 2025 tribunnnewswiki.com,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved