Namun, menurut Riza, peningkatan surveilans genomik di Indonesia ini tidak bisa dilakukan dengan cepat.
”Karena itu mitigasi harus jadi yang utama saat ini,” ujarnya.
Varian baru B.1.1.7 ini diketahui memiliki kemampuan lebih menular hingga 70 persen dibandingkan dengan varian awal SARS-CoV-2 yang ditemukan di Wuhan, China.
Sekalipun belum ada bukti bahwa virus ini bisa memicu keparahan dan risiko kematian, tetapi, menurut Riza, yang harus diperhitungkan yaitu kemungkinan lebih cepatnya penularan dan lonjakan kasus Covid-19.
Untuk itu, upaya untuk menekan lonjakan kasus dengan melakukan 3 T (tracing, testing, dan treatment) serta pembatasan pergerakan orang sangat dibutuhkan.
Baca: Menyebar ke Berbagai Negara, Varian Baru Virus Corona Disebut Sanggup Mengelabui Alat Test Covid-19
Riza menambahkan dari sekitar 138 total genom SARS-CoV-2 dari Indonesia yang telah didaftarkan di GISAID, platform gobal berbagi data genom virus, belum ditemukan adanya mutasi B.1.1.7 ini.
”Dari 138 genom itu, sebanyak 92 memiliki varian mutasi D614G,” ujarnya.
Delapan genom yang baru didaftarkan Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo ke GISAID, menurut Riza, juga masih memiliki varian D614G.
Mutasi D614G telah ditemukan di Indonesia sejak Agustus 2020 dan saat ini telah mendominasi sekitar 67 persen dari genom virus corona baru ini di Indonesia.
Varian D614G sebelumnya juga diketahui lebih menular, tetapi B.1.1.7 jauh lebih menular dan di banyak negara lain telah menggantikan varian-varian sebelumnya.
Menurut laporan Centers for Desease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat, selain varian B.1.1.7, saat ini juga muncul varian baru yang terbentuk dari mutasi di Afrika Selatan yang dikenal sebagai B.1.351.
Selain itu juga muncul varian ketiga juga muncul dan telah terdeteksi di Nigeria, tetapi tidak ada bukti bahwa itu lebih parah atau lebih dapat menular.
(Tribunnewswiki.com/Ris)
Sebagian artikel tayang di Kontan berjudul Dokter Tiongkok sebut vaksin Covid-19 Sinopharm paling tidak aman di dunia