Geger Omnibus Law, PP Muhammadiyah: Demo dan Unjuk Rasa Tidak Menyelesaikan Masalah

Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti meminta masyarakat untuk tenang dalam menghadapi putusan DPR terkait Omnibus Law.


zoom-inlihat foto
sekretaris-umum-pp-muhammadiyah.jpg
KOMPAS.com/SANIA MASHABI
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Muti di Kantor PP Muhammadiyah, Jakarta, Senin (10/2/2020).


TRIBUNNEWSWIKI.COM - Banyak mahasiswa dan buruh turun ke jalan tolak disahkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja.

Kebanyakan dari mereka menyesalkan keputusan DPR yang seakan-akan mempercepat disahkannya UU tersebut.

Pasalnya, banyak pasal yang dianggap kontroversial dan bisa merugikan pekerja buruh.

Contohnya yakni dihapuskannya UMK yang direncanakan diganti menjadi upah per jam.

Menanggapi pro-kontra UU Cipta Kerja, Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengimbau seluruh elemen masyarakat untuk menahan diri.

Sejalan dengan itu, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan, sebaiknya semua elemen masyarakat dapat menahan diri dan menerima keputusan DPR sebagai sebuah realitas politik.

“Kalau memang terdapat keberatan terhadap UU atau materi dalam UU dapat melakukan judicial review. Demo dan unjuk rasa tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan akan menimbulkan masalah baru,” ucap Mu'ti melalui keterangan tertulis yang diterima, Rabu (7/10/2020).

Ia menyampaikan, sejak awal, Muhammadiyah meminta kepada DPR untuk menunda, bahkan membatalkan pembahasan RUU Omnibus Law.

Baca: Unjuk Rasa Tolak UU Cipta Kerja Makan Korban, Puluhan Buruh Dilaporkan Kena PHK

Baca: Salah Sebut UU Cipta Kerja jadi UU Cipta Karya, Anggota DPRD di Lamongan Dihujat Massa Mahasiswa

“Selain karena masih dalam masa Covid-19 di dalam RUU juga banyak pasal yang kontroversial. RUU tidak mendapatkan tanggapan luas dari masyarakat, padahal seharusnya sesuai UU, setiap RUU harus mendapatkan masukan dari masyarakat,” jelas Abdul Mu’ti.

Namun, DPR mengesahkan UU Omnibus Law.

Massa yang terdiri dari mahasiswa dan anak muda melakukan aksi jalan kaki menutup ruas jalan flyover Pasupati, Kota Bandung, Selasa (6/10/2020). Aksi tersebut mereka lakukan dalam rangka menolak Rancangan UU (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja yang baru disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam rapat paripurna.
Massa yang terdiri dari mahasiswa dan anak muda melakukan aksi jalan kaki menutup ruas jalan flyover Pasupati, Kota Bandung, Selasa (6/10/2020). Aksi tersebut mereka lakukan dalam rangka menolak Rancangan UU (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja yang baru disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam rapat paripurna. (TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN)

Ia mengungkapkan, beberapa usul dari Muhammadiyah sebagai organisasi yang mengelola pendidikan telah diakomodir oleh DPR, seperti lima UU terkait pendidikan yang dikeluarkan dari Omnibus Law UU Cipta Kerja.

“Tetapi masih ada pasal terkait dengan perizinan yang masuk dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja. Memang soal ini akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Karena itu, Muhammadiyah akan wait and see bagaimana isi Peraturan Pemerintah,” jelas Abdul Mu’ti.

LP Ma'arif NU merasa DPR berkhianat

Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (LP Ma’arif NU) akan menggugat Undang-Undang Cipta Kerja yang baru saja disahkan DPR RI ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Gugatan itu dilayangkan setelah pihaknya menemukan pasal yang berkaitan dengan pendidikan pada undang-undang omnibus law alias sapu jagat tersebut.

"Apalagi sudah diketok (diputuskan) begini, ya wajib judicial review tentu. Jika yang lain tidak melakukannya, kami akan melakukannya sendiri ya," ujar Ketua LP Ma’arif NU Arifin Junaidi saat dihubungi pada Selasa (6/10/2020).

Selain berencana menggugatnya ke MK, LP Ma’arif NU juga berencana melakukan pendekatan politik, baik dengan eksekutif maupun legislatif agar UU Cipta Kerja itu direvisi.

"Karena saya kita ini bukan semata-mata masalah hukum," lanjut dia.

Ilustrasi Penolakan Omnibus Law: Buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melakukan aksi demonstrasi menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja di depan gedung DPR, Jakarta, Rabu (29/7/2020).
Ilustrasi Penolakan Omnibus Law: Buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melakukan aksi demonstrasi menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja di depan gedung DPR, Jakarta, Rabu (29/7/2020). (Tribunnews.com/ Seno Tri Sulistiyono)

LP Ma’arif NU merasa cukup kecewa lantaran masih ada pasal yang berkaitan dengan pendidikan pada UU Cipta Kerja.

Apalagi, DPR beberapa waktu lalu sudah menyatakan klaster pendidikan dikeluarkan dari UU Cipta Kerja saat masih berupa rancangan.

"Jelas kami ini sangat kecewa karena sebelumnya kan kami bersama penyelenggara pendidikan yang lain, Muhammadiyah, Taman Siswa, dan lain-lain sudah mengajukan keberatan bahwa pendidikan masuk di rezim investasi," ungkap Arifin .

"Kami terus terang sangat kecewa, kami merasa dibohongi oleh DPR, Komisi X yang sudah menyatakan didrop. Setelah kami merasa tenang karena sudah didrop, eh ternyata diketok juga," lanjut dia.

Menurut Arifin, dengan adanya pasal pendidikan dalam UU Cipta Kerja, sama saja memasukkan pendidikan dalam komoditas yang diperdagangkan.

Baca: Ramai Ditolak, Ini 8 Poin UU Cipta Kerja yang Dinilai Dapat Mengancam Hak Buruh

Baca: Omnibus Law UU Cipta Kerja Pangkas Sejumlah Hak Pekerja: Libur Pekerja 2 Hari Seminggu Dihapus

Adapun pasal yang dimaksudkan, yakni dalam Paragraf 12 Pendidikan dan Kebudayaan, Pasal 65.

Dalam Pasal 65 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha sebagaimana dimaksud dalam UU ini.
Dalam UU Cipta Kerja, perizinan berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.

Definisi itu dimuat dalam Pasal 1.

Kemudian, Pasal 65 Ayat (2) UU Cipta Kerja menyebutkan, "Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan diatur dengan peraturan pemerintah".

Arifin menjelaskan, Pasal 1 huruf D UU Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan mendefinisikan.

"usaha sebagai setiap tindakan, perbuatan, atau kegiatan apa pun dalam bidang perekonomian, yang dilakukan setiap pengusaha untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba".

Munurut Arifin, ketika pendidikan harus mengurus izin usaha, artinya pendidikan ini dianggap sebagai mencari keuntungan.
Padahal, di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, tujuan dari bernegara adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Selain itu, Pasal 31 UUD 1945 menyebutkan bahwa pendidikan itu adalah hak setiap warga negara.

"Nah, di situ kami tak mencari keuntungan, tetapi kami sedang ingin mencerdaskan masyarakat dan memberikan hak pendidikan sebagai warga negara. Kok kemudian dimasukkan ke dalam rezim investasi? Ini bagaimana?" ucap Arifin.

"Kalau misalnya dianggap sebagai usaha, ya nanti akan banyak sekali warga negara yang tidak memperoleh haknya," lanjut dia.

Arifin menyebutkan, lembaga pendidikan Ma'arif NU menaungi sekitar 21.000 sekolah dan madrasah, termasuk yang berada di pelosok negeri.

"Kalau nanti harus mengurus izin, tentu kami tidak bisa, karena perizinan yang diatur dalam undang-undang ini rinciannya diatur di dalam peraturan pemerintah, tentu persyaratan-persyaratannya karena mencari keuntungan sangat berat, tidak bisa dipenuhi oleh sekolah-sekolah dan madrasah kami," ujar Arifin.

Diberitakan sebelumnya, dalam rapat Panja Baleg DPR, DPR dan pemerintah sepakat untuk mengeluarkan sektor pendidikan dalam draf RUU Cipta Kerja.

Kesepakatan tersebut diputuskan dalam rapat kerja pembahasan RUU Cipta Kerja yang digelar pada Kamis (24/9/2020).

(TribunnewsWiki.com/Restu, Kompas.com/Wisang Seto P)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Soal Omnibus Law, PP Muhammadiyah Minta Semua Elemen Masyarakat Tahan Diri"





BERITATERKAIT
Ikuti kami di
KOMENTAR

ARTIKEL TERKINI

Artikel POPULER

© 2025 tribunnnewswiki.com,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved