TRIBUNNEWSWIKI.COM - Sanjida Neha, perempuan yang baru saja melahirkan ini bercucuran air mata saat menyampaikan dampak yang ia rasakan di depan pengadilan dan terdakwa Brenton Tarrant.
"Ada dua hal yang saya rasakan saat melihat bayi kami. Aku merasa ingin menangis, saya bertanya mengapa Allah membawanya pergi, dosa apa yang saya perbuat sehingga kami dihukum," katanya.
Kenangan terhadap suami membuat Neha merasa sedih dan sempat putus asa.
"Saat lihat dia (anakku) bernapas dan menangis, ia mengingatkanku pada Faruk. Kadang aku ingin mati rasanya ..."katanya.
Faruk adalah satu dari 51 umat Muslim yang dibunuh oleh Brenton Tarrant dalam serangan di Christchurch tahun lalu.
Istrinya Sanjida Neha tinggal di kampung halaman mereka di Bangladesh, dalam kondisi hamil empat bulan.
Baca: Selamat dari Serangan di Masjid Selandia Baru, Khaled Alnobani: Saya Depresi, Saya Frustasi
Kisah Faruk dan Neha
Faruk dan Neha menikah di Bangladesh pada 29 Desember 2017.
Faruk bekerja di Christchurch sebagai tukang las sejak 2015.
Almarhum berencana membawa istri serta anaknya ke Selandia Baru untuk membangun kehidupan bersama.
Pada awalnya, Neha tak mengira suaminya ada di dalam masjid Al Noor saat mendengar berita tentang penembakan massal.
Saat itu ia berbicara dengan suaminya pada pagi hari.
Menurut Neha, sang suami hampir tak pernah punya kesempatan salat berjamaah di Masjid itu karena sibuk dan lokasi kerjaan yang jauh.
Neha mengatakan sang suami kerap beribadah di dekat tempatnya bekerja dan pada waktu yang diaturnya sendiri.
Namun, saat itu bos Faruk mengizinkannya selesai lebih awal, dan bisa mengunjungi masjid itu sekitar jam 1.
Baca: Berhasil Kabur dari Serangan di Masjid Selandia Baru, Abdiaziz Ali: Saya Melihat Banyak Orang Mati
Saat insiden penembakan terjadi, Faruk dan teman-temannya berusaha kabur.
Ketika hendak melarikan diri, naas, peluru mengenai punggung Faruk.
Neha kaget melihat berita ada tiga orang warga Bangladesh yang terbunuh.
Dia ragu suaminya ada di antara tiga orang tersebut.
"Nama Faruk ada di daftar yang terluka, aku tak tahu Faruk ini siapa, toh kupikir suamiku masih bekerja, aku tak sadar kalau ternyata dia pergi ke masjid," katanya.
Neha menelepon suaminya berulang-ulang, namun tak ada jawaban.
Awalnya, Neha diberitahu anggota keluarga bahwa Faruk terluka dan dia tidak bisa menelepon karena luka di tangannya.
Kemudian anggota keluarganya mengatakan, "Jangan terkejut, Faruk tak hidup lagi, dia sudah meninggal".
"Lalu mereka menampilkan foto Faruk di berita .. bagaimana ini bisa terjadi?"
"Pada awalnya aku tak percaya kalau dia mati sampai aku melihat tubuhnya dengan mata kepalaku sendiri ... Mereka mengirimi saya fotonya dari Selandia Baru, sambil berkata, 'apakah kamu percaya sekarang?"
Pada 27 Maret 2019, jenazah Faruk tiba di Bangladesh.
Neha dan keluarga menguburkan jasadnya di samping makam ayahnya di Bangladesh.
"Aku tak bisa menjelaskan bagaimana perasaan saya saat itu ... saya hamil ... saya terkejut", katanya di mimbar pengadilan.
Neha tiba di Selandia Baru pada 31 Maret 2019.
Dia datang untuk mengambil barang berharga suaminya dari rumahnya di Christchurch - tempat yang suatu saat seharusnya menjadi rumah mereka.
Neha bersedia tinggal di Selandia Baru dan melahirkan bayi kecilnya di negeri Kiwi pada 28 Agustus.
Dia tidak yakin tentang masa depannya tetapi berharap untuk tinggal di sini dan membesarkan Noor.
Ada banyak tekanan baginya untuk terus membiayai keluarga Faruk di Bangladesh - di mana dia adalah satu-satunya pencari nafkah.
Sejauh ini dia telah mengirimi mereka $ 40.000 tetapi sekarang terkoyak karena dia harus fokus pada masa depan anaknya.
"2019 dimulai dengan begitu banyak harapan, ketika Faruk terbunuh, hidup saya terbalik. Saya sangat senang saya akan memiliki bayi Faruk, saya memiliki begitu banyak hal untuk hidup, lalu (sekarang) saya berpikir bagaimana saya akan hidup?" dia berkata.
"Hidup saya terguncang…. Tapi saya bisa memiliki kehidupan yang lebih baik di Selandia Baru dan saya ingin tinggal di sini karena Faruk dan saya punya rencana… Dia tidak di sini lagi (sekarang), tetapi saya ingin melanjutkan mimpinya."
Neha mengaku khawatir apa yang akan dia katakan pada putrinya saat dia dewasa.
"Saya selalu memiliki pertanyaan di benak saya ketika Noor besar nanti dia akan bertanya 'di mana ayah saya'– bagaimana saya akan menjawab pertanyaan itu, saya tidak tahu," katanya.
"Padahal saya baru memulai hidup (berkeluarga) dengan Faruk… sekarang saya punya seorang anak tanpa sang ayah."
Perempuan berusia 20 tahun ini melahirkan putri mereka pada Agustus lalu.
Baca: Pria Mualaf Inggris di Hadapan Brenton Tarrant: Saya Pria Kulit Putih dan Bangga Jadi Muslim
Anaknya diberi nama Noor e Omar, mengenang ayahnya yang tidak akan pernah ditemuinya lagi.
Kata 'Noor' diambil dari nama masjid tempat ayahnya wafat.
"Saat aku sendirian, terkadang kepikiran tentang Faruk ... Aku menangis saat sendiri ... tapi aku harus kuat untuk anakku," kata Neha di mimbar pengadilan tinggi Christchurch, Senin (25/8/2020).
Vonis Seumur Hidup
Pengadilan Tinggi Christchurch memvonis terdakwa Brenton Tarrant dengan hukuman penjara seumur hidup.
Adapun hukuman tersebut dijatuhkan tanpa adanya pembebasan bersyarat, Kamis (27/8/2020).
Hukuman ini menjadi pertama yang dilakukan di Selandia Baru.
Brenton Tarrant terbukti bersalah atas 51 dakwaan pembunuhan, 40 dakwaan percobaan pembunuhan, dan 1 dakwaan terorisme.
Baca: Pasukan Sniper Disiagakan di Sidang Vonis Brenton Tarrant, Terdakwa Penembakan Masjid Selandia Baru
Putusan hakim Cameron Mander dilakukan setelah pengadilan mendengarkan pernyataan sekira 60an penyintas dan keluarga.
Ia sempat terkikik mendengar reaksi marah dari penyintas dan keluarga.
Mark Zarifeh, Jaksa Penuntut Umum menyebut kejahatan Brenton "menimbulkan bekas yang menyakitkan dan memprihatinkan pada sejarah Selandia Baru".
"Jelas dia adalah pembunuh terkeji di Selandia Baru", kata Mark Zarifeh.
Pelaku yang memilih mewakili dirinya sendiri, mengatakan tidak punya pernyataan apapun.
Baca: Sidang Vonis Terdakwa Brenton Tarrant, Penyintas Zuhair Darwish: Kau Akan Mendapat Balasan
Seorang pengacara yang disediakan mengatakan Tarrant bicara kepadanya bahwa dia tidak menentang hukuman dipenjara seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat.
Sidang pada Rabu (26/8/2020) diwarnai derai air mata, kemarahan hingga pembacaan Alquran.
Saat vonis dibacakan, Brenton Tarran terlihat diam, memandang sekeliling, dan menghadapi penyintas dan keluarga dengan tanpa reaksi.
"Tidak, terima kasih," kata Brenton Tarrant saat sang hakim bertanya ke dirinya apakah ingin mengucapkan sesuatu.
(TRIBUNNEWSWIKI.COM/Dinar Fitra Maghiszha)