TRIBUNNEWSWIKI.COM - Khaled Alnobani, seorang penyintas yang selamat dalam insiden penembakan masjid di Selandia Baru mengungkapkan rasa duka dan dampak yang ia rasakan.
Di mimbar pengadilan tinggi Christchurch, pria berusia 36 tahun itu nampak bersedih sekaligus marah.
"Saya melihat orang yang saya kenal ditembak, saya mencoba membantu orang-orang, tapi saya (juga) harus lari," kata pria asal Yordania itu.
Saat serangan tiba, Alnobani berada di baris depan mengikut ibadah salat Jumat.
Ketika mendengar tembakan, ia melihat orang-orang terjatuh.
"Saya merasa tak enak ketika berlari ke luar, dan saya mendengar tembakan masih berlangsung di dalam masjid," katanya.
Baca: Imam Masjid Al Noor, Gamal Fouda di Hadapan Terdakwa Brenton Tarrant: Kau itu Sesat dan Salah Arah
Namun, ia masih membantu orang-orang yang berhamburan ke luar masjid.
"Saya sakit punggung setelah (kejadian) itu karena mencoba mengangkat orang membantu mereka (lari)," ungkapnya.
Ingatan
Kepada hakim, penyintas ini mengaku sulit kembali bekerja seperti biasa lantaran masih berjuang dengan kebiasaan baru hidupnya.
"Perilaku saya berubah karena kehilangan beberapa teman dan terkadang saya merasa (terancam) akan disakiti," katanya.
Alnobani menggambarkan dirinya tidak enak karena saat itu tidak dapat membantu lebih banyak orang.
"Apa yang terjadi sangat tidak terduga dan saya masih merasa terkejut atas apa yang saya lihat," ungkapnya.
Kesedihan
Penyintas yang datang memakai sorban di lehernya ini mengaku masih begitu sedih mengingat kejadian tersebut.
"Setiap kali ada orang yang ngobrol sama saya tentang insiden itu, saya menjadi kesal dan marah. Saya merasakan kondisi tidak dapat mengendalikan atau menahan perasaan saya," terangnya.
Baca: Anaknya Tewas dalam Penembakkan Masjid di Selandia Baru, Maysoon Salama: Hatiku Hancur Jutaan Kali
Penyintas ini juga mengaku merasakan frustasi dan depresi dalam hidupnya setelah kejadian itu.
"Saya depresi, saya frustasi karena ada orang yang merenggut kebahagiaan saya," katanya.
"Saya frustasi karena kehilangan teman-teman saya," terangnya.
Pernyataan dampak korban telah ia selesaikan, dan berbalik ke Brenton Tarrant yang turut dihadirkan dalam persidangan.
Dengan menggunakan Bahasa Inggris, Alnobani mengucapkan baris kalimat terakhirnya.
"Hati saya hancur, tapi saya tidak. Kami menjadi lebih bersatu - dan terima kasih untuk itu," tukasnya mengakhiri pernyataannya.
Sidang Vonis Brenton Tarrant
Pengadilan tinggi Christchurch menggelar persidangan untuk terdakwa Brenton Tarrant, pelaku penembakkan masjid di Selandia Baru.
Sidang akan berlangsung selama empat hari dimulai Senin (24/8/2020) di Christchurch, Selandia Baru.
Adapun ruang sidang utama dilakukan pembatasan pengunjung sebagai antisipasi penyebaran Covid-19.
Ratusan pengunjung yang menonton diberikan fasilitas layar dari ruang sidang lainnya.
Brenton Tarrant terlihat mengenakan pakaian abu-abu, ciri khas narapidana penjara di Selandia Baru.
Baca: Sidang Penembakan Masjid di Selandia Baru: Brenton Tarrant Mengaku Berencana Bakar Masjid
Ia dijaga oleh tiga petugas kepolisian bersenjata yang diam dan sesekali melihat sekeliling.
Dakwaan pelaku dibacakan oleh jaksa penuntut, Barnaby Hawes yang mengungkap sejumlah keterangan peristiwa.
Hawes mengatakan di muka pengadilan bahwa pria bersenjata itu telah merencanakan aksinya selama bertahun-tahun sebelumnya.
Tujuannya adalah "menghabisi korban jiwa sebanyak mungkin", dilansir New Zealand Herald, Senin (24/8/2020).
Brenton mengumpulkan informasi tentang masjid di Selandia Baru seperti mempelajari denah lantai, lokasi, dan info detail lainnnya.
Ia juga mencari tahu tanggal-tanggal sibuknya masjid beroperasi.
Beberapa bulan sebelum serangan tersebut, ia melakukan perjalanan ke Christchurch.
Saat itu, ia menerbangkan sebuah drone di atas target utamanya, masjid Al Noor.
Lebih jauh lagi, dalam pernyataan Jaksa, pelaku juga berencana menargetkan Masjid Ashburton, selain Al Noor dan Linwood Islamic Center.
Hari Penyerangan
Pada hari penyerangan, tak hanya para jamaah di dalam masjid, Tarrant turut menembak orang-orang di jalan ketika mereka berusaha melarikan diri.
Termasuk satu di antara korban, Ansi Alibava yang tewas ketika mencoba lari ke luar masjid.
Baca: Maysoon Salama di Hadapan Brenton Tarrant: Semoga Kau Dapat Hukuman Berat di Dunia dan Akhirat
Saat Brenton berkendara menuju Linwood Islamic Centre, dia berhenti dan menembaki orang-orang keturunan Afrika yang berhasil menghindar.
Ia juga sempat mengacungkan pucuk senjatanya kepada seorang pria Kaukasia, tetapi hanya "senyum dan kemudian pergi".
Kepada polisi, Tarrant mengaku berencana membakar masjid setelah aksinya penembakan.
Hukuman
Hukuman seumur hidup siap menanti Tarrant.
Dengan minimal 17 tahun hukuman, Hakim Cameron Mandor -hakim yang memimpin sidang ini- punya kuasa untuk menjatuhi vonis seumur hidup tanpa ada pembebasan bersyarat.
Ini adalah sebuah hukuman yang belum pernah dijatuhkan di Selandia Baru.
Bertemu dengan Keluarga Korban
Di persidangan, Tarrant dihadapkan dengan para korban selamat dan keluarga korban yang meninggal.
Seorang ibu, yang putranya meninggal dalam insiden tersebut terlihat marah kepada Tarrant.
"Kau menjadikan dirimu punya hak untuk mencabut 51 nyawa orang tak bersalah, yang di matamu lihat 'menjadi Muslim' adalah kejahatan mereka," kata Maysoon Salama, ibu dari Atta Elayyan yang terbunuh.
"Kau benar-benar kelewatan, aku tak bisa memaafkanmu," katanya.
Diketahui serangan Tarrant disiarkan secara langsung olehnya pada 15 Maret 2019.
Aksinya yang pertama dilakukan di Masjid Al Noor, menembaki orang-orang yang sedang menyelenggarakan salat Jumat.
Dia kemudian berkendara sekitar 5 km ke Masjid Linwood dan membunuh lebih banyak korban jiwa.
Serangan Tarrant membuat dunia heboh.
Insiden ini turut mendorong Selandia Baru mengubah payung hukum yang berkaitan dengan kepemilikan senjata.
Baca: Tak Ada Transmisi Lokal, Selandia Baru Pertimbangkan Kargo Impor sebagai Asal Klaster Baru Covid-19
Baca: Sebut Kasus Covid-19 di Selandia Baru Mengerikan, Donald Trump Dibalas PM Jacinda Ardern
-
(TRIBUNNEWSWIKI.COM/Dinar Fitra Maghiszha)