TRIBUNNEWSWIKI.COM - 'Negara-negara muslim harus bersatu untuk melindungi diri dari ancaman luar', sebuah pernyataan Perdana Menteri Malaysia, Tun Dr Mahathir Mohamad mencuat ke publik, Selasa (7/1/2020) waktu setempat.
Pernyataan PM Malaysia Mahathir Mohamad ini keluar sebagai respon atas pembunuhan Jenderal Militer Iran, Qassem Soleimani oleh pasukan Amerika Serikat (AS).
Mahathir Mohamad menyebut bahwa pembunuhan terhadap pimpinan militer Iran, Qasem Soleimani merupakan perbuatan amoral.
Mahathir juga menyebut langkah AS melanggar hukum negara juga melanggar hukum internasional.
"Tindakan ini mirip dengan pembunuhan Jamal Khashoggi yang di luar batas."
"Ini juga merupakan tindakan lain di mana satu negara memutuskan sendiri untuk membunuh para pemimpin negara lain."
"Keduanya bersalah atas tindakan tidak bermoral, ini melawan hukum" kata Mahathir dalam The Star, (7/1/2020).
Baca: Jenderal Iran Qasem Soleimani Dibunuh, Amerika Serikat Kirim 3000 Pasukan ke Timur Tengah
Perdana menteri tertua di dunia ini sempat memicu ketegangan diplomatik dalam beberapa bulan terakhir.
Hal itu disebabkan lantaran Mahathir Mohamad berbicara perihal isu-isu mengenai dunia Muslim baik Uighur maupun Rohingya.
Kali ini, Mahathir merespon serangan pesawat tak berawak atau drone milik Amerika Serikat (AS) kepada Qasem Soleimani.
Mahathir menyebut bahwa tindakan AS melanggar hukum internasional.
Saat ditanya apakah ia akan terus menyuarakan pandangannya di panggung dunia, Mahathir mengatakan dirinya akan terus melanjutkan untuk "menunjukkan kebenaran."
Baca: Bagaimana Donald Trump Bisa Izinkan Militer AS Bunuh Pemimpin Revolusi Iran Qasem Soleimani?
Mahathir Mohamad: 'Negara Muslim Harus Bersatu'
Pernyataan Mahathir menekankan bahwa negara-negara Muslim di dunia harus bersatu.
Menurutnya hal itu diperlukan untuk melindungi diri dari ancaman eksternal.
Mahathir menyebut pembunuhan yang dilakukan di Baghdad, Irak ini dapat menyebabkan eskalasi besar dan konfrontatif.
"Waktu yang tepat bagi negara-negara muslim untuk berkumpul," kata Mahathir seperti dikutip Reuters dan ChannelNewAsia, Selasa (7/1/2020).
“Kita tidak lagi aman sekarang. Jika ada yang menghina atau mengatakan sesuatu yang tidak disukai seseorang, tidak apa-apa bagi orang dari negara lain untuk mengirim drone dan mungkin menembaki saya," ujarnya.
Baca: Jenderal Qasem Soleimani Tewas di Tangan AS, Pemimpin Tertinggi Iran Bersumpah Akan Balas Dendam
Demonstrasi di Malaysia
Sekitar 50 orang termasuk perempuan yang mengenakan burqa berkumpul di luar Kedutaan Iran di ibukota Malaysia, Kuala Lumpur, untuk mengkritik tindakan Amerika.
Mahathir sendiri telah berusaha mempertahankan hubungan baik dengan Iran meskipun ada sanksi AS terhadap negara Timur Tengah tersebut.
Sementara itu, di Malaysia sendiri diperkirakan 10.000 warga negara Iran tinggal dengan beragam aktivitas.
Pada bulan lalu, Mahathir juga menjamu Presiden Iran Hassan Rouhani di sebuah konferensi para pemimpin muslim di Malaysia di mana mereka membahas peningkatan bisnis, perdagangan mata uang dan bersaing dengan negara-negara lainnya.
Sebelumnya, komentar Mahathir baru-baru ini hadir merespon perlakuan terhadap warga muslim di India dan kritiknya terhadap Organisasi Kerjasama Islam yang berbasis di Arab Saudi.
Hal ini dianggap telah merusak hubungan Malaysia dengan New Delhi dan Riyadh.
"Aku berbicara yang sebenarnya," kata Mahathir.
"Kamu melakukan sesuatu yang tidak benar, aku pikir aku punya hak untuk berbicara," katanya.
AS Kirimkan Pasukan ke Timur Tengah
Amerika Serikat (AS) dilaporkan mengirim sekitar 3,000 pasukan militer ke kawasan Timur Tengah beberapa jam setelah serangan AS terhadap Jenderal Pasukan Al-Quds, Qasem Soleimani.
Pengiriman 3000 pasukan AS ke Timur Tengah ini merupakan pasukan tambahan, dilaporkan oleh tiga pejabat pertahanan dan seorang pejabat militer AS yang dikutip NBC News, (4/1/2019).
Sebelumnya, AS telah mengirimkan pasukan militernya ke Timur Tengah usai ribuan orang massa menyerbu kompleks pertahanan AS.
Pengerahan pasukan militer tambahan berasal dari brigade pasukan udara 82nd Airbone Division yang berbasis di Fort Bragg, North Carolina, Amerika Serikat.
Para prajurit tambahan ini akan digabungkan dengan sekitar 650 orang prajurit lain yang sebelumnya telah dikerahkan di wilayah tersebut dan telah tinggal di sana selama kurang lebih 60 hari, kata seorang pejabat pertahanan militer AS.
Brigade Pasukan Cepat Tanggap AS / The Immediate Respon Force ini akan menyebar di seluruh wilayah di Timur Tengah bersama sejumlah pasukannya yang berada di Irak dan sebagian lainnya di Kuwait.
"Seperti yang diumumkan sebelumnya, brigade Pasukan Cepat Tanggap dari Divisi 82nd Airbone telah disiagakan untuk mempersiapkan penempatan, dan saat ini sedang dikerahkan, " kata Pentagon dalam sebuah pernyataan.
"Brigade pasukan ini akan ditempatkan di Kuwait sebagai strategi dan tindakan pencegahan melawan segala usaha yang mengancam personel dan fasilitas Amerika Serikat, serta akan membantu dalam menyusun kekuatan cadangan."
Konfirmasi AS atas Penyerangan Qasem Soleimani
Departemen Pertahanan Amerika Serikat (AS) mengeluarkan rilis resmi pernyataan penyerangan terhadap pemimpin Pasukan Pengawal Revolusi Islam / Islamic Revolutionary Guard Corps-Quds Force.
Atas perintah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, Departemen Pertahanan Amerika Serikat mengeluarkan pernyataan resmi membunuh Qasem Soleimani, perwira militer senior Iran yang juga menjabat Kepala Islamic Revolutionary Guard Corps-Quds Force.
Islamic Revolutionary Guard Corps-Quds Force disebut sebagai organisasi teroris luar negeri, dalam rilis yang dikeluarkan oleh Departemen Pertahanan, melalui situs defense.gov (2/1/2020).
Kebijakan membunuh Qasem Soleimani merupakan bagian dari strategi defensif pemerintah Amerika Serikat untuk melindungi personilnya di luar negeri.
Menurut rilis Departemen Pertahanan AS, Jenderal Soleimani secara aktif mengembangkan rencana untuk menyerang para diplomat Amerika dan para anggota lainnya di Irak dan sejumlah kawasan.
Kebijakan 'membunuh' Jenderal Qasem Soleimani hadir lantaran pimpinan besar Iran bersama Pasukan Qudsnya bertanggungjawab atas kematian ratusan orang Amerika dan sejumlah anggota lain.
Qasem Soleimani dianggap telah mengatur serangan terhadap pangkalan koalisi di Irak selama beberapa bulan terakhir.
Satu di antaranya adalah serangan pada 27 Desember 2019 yang berujung adanya korban tewas dan terluka dari pihak Amerika dan Irak.
Jenderal Qasem Soleimani disebut menyetujui agenda serangan terhadap Kedutaan Besar Amerika Serikat di Baghdad yang terjadi pada minggu ini.
Serangan yang terjadi di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Irak minggu ini disebut bertujuan menghalangi rencana serangan Iran selanjutnya.
Departemen Pertahanan AS menyebut akan terus mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk melindungi orang-orang dan warganya yang bertugas di timur tengah dan di seluruh dunia.
Sumber keamanan Amerika menerangkan, serangan itu menargetkan konvoi paramiliter Hashed al-Shaabi, dengan delapan orang tewas, termasuk Soleimani.
Selain Soleimani, Hashed al-Shaabi mengonfirmasi bahwa pemimpin mereka, Abu Mahdi al-Muhandis juga tewas, dalam serangan yang dilakukan helikopter AS.
Serangan tersebut terjadi tiga hari setelah massa pendukung Hashed menyerbut Kedutaan Besar AS di Baghdad.
Aksi massa berujung kerusuhan tersebut terjadi setelah Pentagon menggelar serangan udara yang menewaskan 25 orang anggota Hashed.
Serangan yang terjadi Minggu (29/12/2019) itu disebut Washington merupakan balasan atas serangan roket yang menewaskan kontraktor sipil Amerika.
Melalui Pentagon, Amerika Serikat mengumumkan berhasil membunuh Jenderal Qasem Soleimani sebagai bagian dari usaha melindungi Amerika dari serangan Iran di masa mendatang.
Mayor Jenderal Qasem Soleimani disebut secara aktif merencanakan serangan diplomat maupun militer AS di wilayah Timur Tengah.
Tewasnya Jenderal Militer Iran Qasem Soleimani
Jenderal Qasem Soleimani tewas dalam serangan rudal di Bandara Baghdad, Irak, dilansir BBC, Jumat (3/1/2020),
Pihak militer Irak mengemukakan Bandara Internasional Baghdad dicecar dengan serangkaian serangan rudal pada Jumat tengah malam.
"Jenderal Soleimani dan Pasukan Quds bertanggung jawab atas kematian ratusan warga AS maupun koalisi, serta ribuan orang yang terluka," jelas Pentagon.
Pemerintah Amerika Serikat menyebut, perwira tinggi Iran's Revolutionary Guards itu mendalangi serangan terhadap markas mereka di Irak.
Termasuk, serangan roket yang menewaskan seorang kontraktor sipil AS di wilayah Kirkuk pada Jumat pekan lalu (27/12/2019).
Merespon serangan AS, Menteri Luar Negeri Iran, Mohamed Javad Zarif, menyebut langkah tersebut "berbahaya dan berpotensi menyulut eskalasi yang konyol".
Baca: Setelah Ancam Balas Dendam, Iran Targetkan Gedung Putih dan Hargai Kepala Trump USD 80 Juta
Iran Balas Dendam
Iran mengumumkan serangan balas dendam sebagai respon atas serangan Amerika Serikat, seperti dilansir WashinctonPost, Jumat (3/1/2020) ,
Pengumuman Iran ini diucapkan dengan sebuah ikrar balas dendam.
"Dengan berpulangnya dia dan dengan kekuatan Tuhan, pengabdian serta tujuannya tak akan pernah berhenti, balas dendam berat menanti untuk para penjahat yang telah menodai tangan kotor mereka dengan darahnya (Qasem Soleimani) dan lainnya atas insiden semalam, " ujar pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khameni dalam sebuah pernyataan.
Sementara Menteri Pertahanan Iran, Amir Hatami menyebut bahwa serangan terhadap Qasem Soleimani adalah bentuk dari "Sikap Arogan Amerika Serikat".
Kepala Hubungan Luar Negeri DPR AS, Eliot Engel mengatakan serangan terhadap jenderal Iran tidak dilakukan melalui konsultasi dengan Kongres, seperti dilansri AFP, Jumat (3/1/2020),
Politisi Partai Demokrat AS tersebut menambahkan Soleimani jelas merupakan"dalang kekerasan" yang menyebabkan keluarnya "darah orang AS di tangannya".
"Namun, memaksakan kebijakan ini jelas bakal memberikan problem yang serius," imbuh Engel
"Tak hanya itu, tindakan tersebut merupakan penghinaan terhadap kekuasaan Kongres AS sebagai lembaga yang setara," jelasnya.
--
(TRIBUNNEWSWIKI.COM/Dinar Fitra Maghiszha)