TRIBUNNEWSWIKI.COM - Islamic State (IS) mengklaim bertanggungjawab atas serangan yang menewaskan 49 tentara Negara Mali.
Serangan Islamic State ini juga menewaskan seorang tentara Prancis sebagai korban terakhir di wilayah konflik ini.
Hantaman ini, seperti dilaporkan AFP, (3/11/2019) menandai lemahnya sejumlah wilayah di negara-negara Afrika Barat atas perlawanan terhadap kelompok jihad yang mengklaim memiliki ratusan anggota yang masih hidup.
Penyerangan terhadap tentara garis depan Mali pada Jumat, (1/11/2019), di wilayah Indelimane di timur Menaka, dekat wilayah Niger tercatat menewaskan 49 tentara, 3 terluka, dan menyisakan 20 lainnya, seperti yang dilaporkan Malian Armed Forces (FAMa), Sabtu, (2/11/2019).
"Para tentara khalifah menyerang pangkalan militer di tempat di mana banyak unsur tentara murtad Mali yang ditempatkan di Desa Indelimane" tulis pernyataan IS di kanal medianya, seperti dilaporkan AFP, (3/10/2019).
Baca: Pemimpin ISIS Al-Baghdadi Dikabarkan Tewas karena Serangan AS di Suriah
Baca: Pimpinan ISIS Tewas, Pengamat Ingatkan Ancaman Terorisme di Indonesia Bakal Lebih Serius
Seorang Tentara Prancis Tewas
Pada Sabtu, (2/11/2019), seorang tentara Prancis berpangkat kopral, Ronan Pointeau (24) tewas setelah kendaraan berlapis baja yang ia kemudikan terkena alat peledak (Improvised Explosive Devce/IED) di dekat Kota Menaka, seperti dilaporkan oleh Menteri Pertahanan, Prancis.
Selain itu, IS pada Sabtu waktu setempat juga mengklaim bertanggung jawab dengan menyatakan, "meledakkan sebuah alat peledak pada konvoi tentara Prancis di wilayah Indelimane, Mali."
Ronan Pointeau bersama kolega sebelumnya mengantarkan konvoi tentara di Kota Gao dan Menaka.
"Serangan berbahaya ini menunjukkan betapa penting dan perlunya melawan kelompok teroris bersenjata", ujar Menteri Pertahanan Prancis di perbatasan tiga negara yang terbentang, Mali, Niger, dan Burkina Faso.
Merespons tewasnya anggota militer, Menteri Angkatan Bersenjata Prancis, Florence Parly menyatakan ia akan "mengunjungi negara Mali dalam waktu dekat untuk berdiskusi dengan otoritas setempat".
Presiden Prancis, Emmanuel Macron di tempat yang berbeda memberi penghormatan kepada Pointeau dan menyatakan solidaritasnya terhadap tentara Prancis dan Afrika yang sedang bertempur di wilayah konflik.
Pemerintah Negara Mali, secara resmi mengumumkan setidaknya 53 orang tewas dalam sebuah serangan teroris di Indelimane, Mali.
Seorang perwira militer menyatakan para tentara telah tiba di pos-pos perbatasan pada Jumat, (1/20/2019), sekitar pukul 5 sore waktu setempat dan berhasil "mengambil alih posisi".
"Para teroris ini melakukan serangan tiba-tiba pada saat makan siang. Sejumlah kendaraan militer hancur, sedangkan yang lainnya diamankan" ujarnya kepada AFP.
Pertempuran telah berlangsung selama sebulan setelah sebelumnya dua orang jihadist menyerang dan menewaskan 40 prajurit di dekat perbatasan negara Burkina Faso.
Beberapa sumber menyebutkan angka tersebut jauh lebih tinggi pada fakta di lapangan.
Lembaga misi program PBB, MINUSMA, mengutuk serangan tersebut dan menyatakan pasukan penjaga perdamaiannya (PBB) telah membantu tentara Mali menjaga di wilayah-wilayah konfik.
Baca: Usai Kematian al-Baghdadi, ISIS Tunjuk Pemimpin Baru dan Peringatkan Amerika dalam Siaran Radio
Baca: Al-Baghdadi Meledakkan Dirinya, Pentagon Rilis Foto & Video Penyerbuan Tentara AS ke Markas ISIS
Kami Bisa Melawan
Seorang tokoh agama di Mali, Mahamound Dicko menyatakan pertumpahan darah yang terjadi di negaranya tak bisa dilanjutkan kembali.
"Apa kamu ingin kami pasrah pada penderitaan ini? Kami bisa melawan", ujar Dicko.
Aktivis hak asasi manusia, Alione Tine, dari tetangga baratnya, Negara Senegal, menyerukan aksi di seluruh Afrika untuk menangkal ancaman tersebut.
"Jika Afrika tidak mengerahkan bantuan untuk Mali dan Burkina Faso, maka tidak akan dapat terhindar dari serangan cepat (jihadist) yang menyerang sepanjang pesisir di negara-negara Afrika Barat sebagai target terpilih lainnya" dari para kelompok militan, ujar Alione.
Kekejaman kelompok militan ini dilaporkan telah menyebar ke negara Burkina Faso dan Nigeria, di mana para ekstrimis ini telah memicu perselisihan antar-komunitas, di negara tersebut yang menyebabkan ratusan orant tewas.
Di negara Mali, serangan kelompok militan ini menyebar dari utara yang wilayahnya gersang ke pusat negara, yang memiliki beragam etnis dan banyak penduduk.
Serangan kelompok militan yang belakangan terjadi merupakan penghinaan terhadap kekuatan Pasukan G5 Sahel -inisiatif bentukan dari lima negara yang membentuk 5.000 tenaga pasukan anti-teror- dan bekas hukum kolonial Prancis (yang sebelumnya berada di wilayah tersebut), di mana sempat membawa keamanan di wilayah-wilayah yang rapuh.
Wilayah utara Mali dilaporkan berada di bawah kontrol jaringan Al-Qaeda, pasca gagalnya tentara Mali untuk menggagalkan pemberontakan di sana tahun 2012.
Negara Prancis memimpin dan meluncurkan kampanye untuk melawan para jihadis / kelompok militan ini, dan telah berhasil menekan mereka kembali setahun belakangan.
Kendati demikian, para kelompok militan ini telah bersatu kembali dan memperluas jaringannya dengan serangan kilat dan ranjau peledak di pusat kota dan selatan dari Negara Mali.
Baca: Peringatan Serangan Teroris, Emmanuel Macron Ingatkan Warga Prancis Ideologi Garis Keras Mematikan
Baca: Usai Beraksi, Teroris Penembakan Selandia Baru Sempat Bertanya, Berapa Banyak yang Saya Bunuh?
--
(TRIBUNNEWSWIKI.COM/Dinar Fitra Maghiszha)